SURABAYA, hks-news.com|
Bulan Mei adalah puncak dari masa-masa kritis total kondisi Indonesia. Kejenuhan rakyat terhadap otoritarianisme Presiden Soeharto yang hampir tiga dekade berkuasa ditambah sulitnya kondisi ekonomi menjadi kombinasi yang pas untuk berontak.
Tepat hari ini 25 tahun lalu sejarah mencatat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya Komisi V secara resmi menolak kebijakan pemerintah ihwal kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik (Republika, 8 Mei 1998). Penolakan ini bermula karena tiga hari sebelumnya, 5 Mei 1998, pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 46,3% dan tarif dasar listrik 60% akibat tidak mampu memberikan subsidi.
Bila kenaikan harga BBM terjadi maka imbasnya, rakyat semakin menjerit. Sebab, kenaikan dua hal tersebut berdampak domino bagi kehidupan sehari-hari. Atas dasar inilah DPR mengetok palu untuk menolak kenaikan karena memberatkan rakyat.
Menariknya, penolakan ini adalah yang pertama terjadi sepanjang Soeharto berkuasa sejak 1968. Mengacu pada paparan Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Orde Baru (2015), DPR kala itu sebetulnya berisi para loyalis Soeharto sejumlah 325 kursi fraksi Golkar dan 75 kursi fraksi ABRI.
Jika sebelumnya DPR selalu jadi support system Soeharto, maka kali ini tidak demikian. DPR sudah berani ‘membangkang’. Soeharto pun mulai kehilangan kekuatan di legislatif. Sejak itulah kekuasaan Soeharto mulai ‘pincang’.
Sumber : cnbcindonesia.com