Surabaya, HKS-News.com – Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hal yang lekat dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia. Selain itu, THR identik pula dengan tradisi menukarkan uang lama menjadi uang baru sebelum dibagikan kepada sanak kerabat. Hal tersebut kemudian menjadi suatu budaya di masyarakat Indonesia hingga marak bermunculan jasa penukaran uang baru ketika mendekati hari raya Idul Fitri.

Kepada UNAIR NEWS, Djoko Adi Prasetyo Drs Msi, pakar sekaligus dosen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga memberikan tanggapannya terkait budaya THR di Indonesia. Ia menyebutkan tradisi pemberian uang diyakini berasal dari budaya Timur Tengah yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia.

Asal-usul THR


Djoko mengungkapkan walaupun sejarahnya belum tertulis dengan jelas, tetapi tradisi THR kemungkinan berasal dari pengejawantahan bentuk sedekah sesuai ajaran Islam. Tradisi tersebut, sambungnya, tidak lepas dari proses akulturasi budaya yang dilakukan masyarakat Indonesia.

“Beberapa catatan sejarah Kerajaan Mataram Islam, pada abad ke-16 hingga ke-18, para raja dan bangsawan biasa memberikan uang baru sebagai hadiah kepada anak-anak para pengikutnya saat Idul Fitri. Hadiah uang baru tersebut diberikan sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan mereka dalam menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh,” ujar Djoko.

Djoko kemudian memaparkan bahwa dalam catatan sejarah, terungkap bahwa pertama kali budaya THR tercetus pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara. Hingga saat ini, lanjut Djoko, masyarakat masih mempertahankan tradisi pemberian uang baru sebagai wujud kasih sayang dan rasa persaudaraan di antara keluarga dan kerabat.

Dampak Teknologi


Selanjutnya, Djoko menanggapi terkait fenomena pergeseran kebiasaan berbagi THR karena teknologi uang elektronik. Menurutnya, meskipun THR saat ini bisa berwujud uang elektronik, hal ini tidak mengurangi makna simbol tentang kesucian dan kebersihan, ucapan terima kasih, rasa hormat, rasa bangga jika bisa berbagi, serta rasa bersyukur.

“Kita juga harus paham bahwa budaya itu tidak abadi. Selama budaya itu masih ada masyarakat pendukungnya, maka budaya itu akan tetap lestari. Demikian sebaliknya, apabila masyarakat pendukung budaya tersebut sudah tidak mendukung lagi, maka budaya itu akan terkikis dan bahkan musnah,” pungkas Djoko.(Wahyu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *