SURABAYA, HKS-News.com|
Bulan Ramadan selalu menjadi momen membahagiakan bagi umat muslim, termasuk di Indonesia. Berbagai kegiatan keagamaan, mulai dari melaksanakan shalat tarawih berjamaah hingga tadarus semalam suntuk biasanya mewarnai bulan suci ini.
Namun, terkadang penggunaan speaker hingga semalam suntuk bisa mengganggu masyarakat sekitar, melihat di Indonesia terdapat berbagai perbedaan agama dan budaya.
Mengenai hal tersebut, pakar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair), Dr Listiyono Santoso SS MHum mengenai Surat Edaran Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia Nomor 05 tahun 2022 pada Sabtu (17/3/2024) secara daring. Listiyono mengatakan, masyarakat harus membaca surat edaran Kemenag dengan bijak dan cermat.
“Kita harus membaca surat edaran Kemenag dengan cermat, jangan sampai salah tafsir, karena seringkali terjadi kesalahpahaman pada masyarakat. Misalnya, penggunaan pengeras suara luar itu diperbolehkan dalam bulan Ramadan hingga pukul sepuluh malam untuk tadarus, jika ingin melanjutkan, boleh menggunakan pengeras suara dalam,” tutur Listiyono.
Surat Edaran Melindungi Masyarakat
Listiyono menerangkan, masyarakat dan takmir masjid harus bersikap arif pada keputusan Kemenag tersebut. Lantaran, surat edaran tersebut tujuannya justru melindungi keragaman dalam masyarakat, sekaligus juga penghargaan pada perbedaan.
“Keragaman masyarakat di lingkungan masjid justru harus terjaga dengan lebih arif dalam menggunakan pengeras suara, terutama pengeras suara luar untuk selain kegiatan adzan. Sebab, pengeras suara itu punya potensi membuat ketidaknyamanan bagi yang berbeda baik secara pemahaman agama maupun kondisi, misalkan di lingkungan itu ada bayi atau orang sakit,” terang Wakil Dekan 1 FIB Unair itu.
Jadi surat edaran tersebut bertujuan untuk menjaga keragaman dan kepentingan kebudayaan yang ada di Indonesia.
Peran Tokoh Agama
Lebih lanjut, Listiyono mengatakan, tokoh agama harus berkontribusi untuk memberikan rasa nyaman dalam syiar agama. Justru mereka, lanjutnya, yang sebenarnya punya otoritas untuk menyampaikan kepada publik terkait kearifan dalam penggunaan sarana dakwah.
“Para tokoh agama harus berperan langsung dalam memberikan rasa nyaman dalam melakukan syiar agama. Hal itu dikarenakan, tokoh agamalah yang sebenarnya memiliki otoritas untuk menyampaikan kepada publik terkait kearifan dalam dakwah,” tutur Listiyono.
Pada akhir, ia menegaskan bahwa tokoh agama berperan penting dalam memberikan saran yang bijak apabila terdapat potensi konflik yang lahir di masyarakat.
“Jika berpotensi melahirkan konflik di masyarakat maka tokoh agama yang dapat memberikan saran yang bijak,” tegasnya.(Yul)