SURABAYA, HKS-News.com|
Sekarang ini untuk menjadi anggota legislatif ongkosnya mahal. Calon legislatif (caleg) harus menyiapkan modal cukup besar untuk bisa mendapatkan kursi di parlemen.
Pasalnya, kini masyarakat meminta sejumlah uang kepada caleg kalau mau dipilih dalam pemilu. Kalau tidak punya uang, jangan harap dipilih.
Ucapan tersebut disampaikan oleh AH Thony, calon anggota DPRD Kota Surabaya dari Partai Gerindra sekaligus salah satu aktivis 98 di Yogyakarta yang terlibat aktif dalam penolakan budaya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme masa orde baru.
“Saya menemukan kondisi ini ketika terjun ke lapangan. Banyak masyarakat yang mengatakan, kalau mau dicoblos wani piro!” kata AH Thony, caleg DPRD Kota Surabaya dari Partai Gerindra ini.
Memang tidak semua masyarakat meminta sejumlah uang kepada caleg. Ada juga yang masih idealis dan tak berharap apa-apa.
“Tapi, mayoritas minta dibayar. Kalau tidak dibayar, jangan harap akan dipilih atau dicoblos,” ujar Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya periode 2019-2024 ini.
Akibat fenomena ini, sulit diharapkan adanya pemilu yang jurdil (jujur dan adil), bebas dari praktik money politic. Yang terjadi justru sebaliknya, terjadi perang “tarif” sesama caleg. Siapa yang berani bayar mahal, kemungkinan besar akan dipilih atau dicoblos. Sedang yang tak punya modal, jangan harap bisa dapat suara dan melenggang ke parlemen.
“Money politic sepertinya sudah bukan rahasia umum lagi. Masyarakat tampaknya sudah tak peduli dengan adanya sanksi yang bakal diterima jika terbukti terlibat praktik money politic,” ucap Thony.
Padahal pelaku maupun penerima politik uang bisa dijerat Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017, dengan sanksi pidana berupa kurungan penjara selama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Dia berharap kondisi seperti ini bisa segera dibenahi, sehingga ke depan pemilu yang jurdil dan bebas praktik money politic bisa terwujud.
“Saya khawatir kalau hal ini dibiarkan, pemilu ke depan akan semakin amburadul,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Thony juga mengingatkan agar para caleg atau partai politik menghormati penyelenggara pemilu. Artinya, meskipun berdasarkan hitungannya ia sudah yakin terpilih sebagai anggota legislatif, jangan buru-buru mengklaim atau mengumumkan ke publik.
“Mari kita mengormati penyelenggara pemilu. Apalagi sekarang ini prosesnya masih berjalan dan belum tuntas. Biarlah KPU yang nantinya mengumumkan secara resmi,” sambungnya.
Jangan sampai setelah menurut hitungannya lolos, ternyata dalam hitungan KPU tidak lolos.
“Kami faham, klain lebih awal ini sebagai”warning” kepada oknum-oknum penyelenggara, termasuk para pesulap perolehan suara yang ingin main-main, bahwa mereka memiliki data akurat, dan diharapkan untuk tidak main-main atau untuk kepentingan lain,’” tambahnya.
Dia berharap, kalau bisa tradisi seperti ini jangan dilakukan, karena dalam situasi tertentu klain awal iru akibatnya akan fatal.
“Jadi, sabar saja dulu. Tunggu sampai proses selesai dan diumumkan secara resmi oleh KPU,” pungkas pria yang dikenal sebagai Tokoh Penggerak Budaya Surabaya ini. (Yul)