SURABAYA, HKS-News.com|
Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10 persen per 1 Januari 2024. Kenaikan cukai ini membuat harga rokok mengalami kenaikan yang signifikan.
Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 yang merupakan perubahan kedua dari PMK Nomor 192 Tahun 2021.
PMK ini mengatur tarif cukai untuk berbagai jenis rokok tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot, dan tembakau iris.
Kenaikan tarif cukai ini berlaku sejak 1 Januari 2024, sesuai dengan pasal 1 ayat (2) huruf b PMK tersebut.
Selain itu, pemerintah juga memberlakukan pajak rokok elektrik sebesar 15 persen sejak 1 Januari 2024.
Pajak rokok elektrik ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan dan Penyetoran Pajak Rokok.
Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Jawa Timur Sulami Bahar mengungkapkan, kenaikan CHT dengan tujuan pemerintah bisa melakukan pengendalian industri, peredaran maupun konsumsi rokok.
Namun sayangnya kebijakan terebut, menurutnya, membuat industri rokok ilegal kian marak.
“Kenaikan CHT ini mau tidak mau harus kita terima, meskipun sebenarnya kondisi industri rokok saat ini sedang mengalami penurunan drastis. Banyak perusahaan rokok yang resmi justru mengalami kebangkrutan,” ungkapnya.
Sulami berharap ke depan dalam membuat kebijakan tarif cukai, pemerintah harus memperhatikan kondisi lapangan. Selain itu juga daya beli konsumen.
“Seharusnya kenaikan juga harus berdasarkan inflasi dan roadmap,” ujarnya
Sulami memprediksi industri rokok akan semakin terpuruk tahun 2024. Terlebih dengan maraknya industri rokok.
Tarif CHT Naik Berpotensi Membuat Peredaran Rokok Ilegal Marak, Ini Alasannya
“Kami meminta kepada pemerintah agar benar-benar serius memberantas rokok ilegal. Apalagi dengan adanya PP nomor 53 yang mengubah semuanya. Jika dulunya peredaran rokok ilegal didenda delapan kali nilai cukai yang ditemukan atau hukuman 8/4 tahun. Tetapi sekarang diubah, hanya didenda 4 kali nilai cukai yang ditemukan,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Jatim Heru Suseno mengatakan, produksi tembakau di Jatim sangat luar biasa, dan berkontribusi 45 persen terhadap nasional.
Menurutnya, pendapatan cukai terbesar ada di Jatim. Meski demikian, ia mengaku, kebijakan pemerintah mengenai peraturan rokok yang semakin ketat juga mempengaruhi pasar tembakau di Indonesia.
Ia juga mengaku, minimnya kemitraan petani hingga lemahnya peran kelompok tani membuat harga jual tembakau di pasaran tidak stabil, karena posisi tawar yang rendah.
Kendala lainnya dalam mengembangkan pertanian tembakau di Jatim adalah para petani didominasi oleh kelompok usia 45 tahun keatas.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim menyebutkan bahwa petani milenial dibawah usia 35 tahun hanya 8 persen.
“Hal ini menjadi kekhawatiran serius terhadap keberlangsungan perekonomian khususnya pertanian,” jelasnya.(Yul)