SURABAYA, HKS-News.com|
Penggunaan layanan pay later atau layanan cicilan pembelian semakin marak. Bermula dari perusahaan fintech, hingga kini merambat ke perusahaan bank skala menengah dan besar.
Salah satunya yang terbaru ini adalah PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan PT Bank Mandiri (persero) Tbk yang telah meluncurkan fitur tersebut di penghujung tahun 2023. Tak mau ketinggalan, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) juga turut mencicipi ‘manisnya’ segmen ini yang juga akan meluncurkan fitur serupa dalam waktu dekat.
Melihat maraknya persaingan fitur pay later dalam m-banking, Bayu Arie Fianto SE MBA PhD, Pakar Keuangan Syariah FEB Unair, menilai bahwa layanan itu berpotensi mendorong inklusivitas perekonomian negara.
Bayu mengungkapkan bahwa layanan pay later di perbankan lebih mudah digunakan karena para pengguna bisa mendapatkan fasilitas limit kredit hingga puluhan juta tanpa mengajukan kartu kredit atau jaminan.
Walaupun layanan pay later memberikan kemudahan, ia mengingatkan para nasabah memiliki literacy keuangan dan menyiapkan dana darurat sebesar enam kali dari pengeluaran harian atau bulanan sebelum mencairkan layanan pay later.
Bayu menganjurkan para pengguna pay later harus memiliki ‘uang dingin’ untuk investasi jangka panjang dan melihat kemampuan pembayaran agar tidak menanggung resiko akibat pembayaran yang terlambat.
Untuk mengantisipasi adanya tunggakan cicilan, Bayu menyarankan untuk mengambil tenor yang lebih panjang agar cicilan lebih ringan dan memanfaatkan diskon yang disediakan.
“Ke depan saya merekomendasikan fitur tersebut karena kemudahannya. Namun, Bagi Anda yang ingin menggunakan fitur pay later, terutama yang dipermudah dengan menggunakan QRIS, tentunya juga harus memperhitungkan kemampuan keuangan,” jelas Pakar Keuangan Syariah Unair itu.
Risiko Pengguna
Alih-alih memanfaatkan fitur pay later, Bayu juga mengingatkan resiko utama dari penggunaan layanan pay later.
“Perlu diingat bahwa pay later ini kita seperti berhutang atau sama seperti kita mengambil pinjaman dari perbankan, sehingga tetap harus ada kewajiban untuk mengembalikan. Kebanyakan masyarakat kita mungkin hanya menikmati saat menerima pinjaman, tapi lupa kewajibannya. Karena jika gagal bayar, maka juga akan masuk ke data hitam di perbankan yang akan berdampak kepada pengajuan kredit di kemudian hari,” tutur Bayu.
Lebih lanjut, Bayu juga menekankan penurunan kredibilitas pengguna jika tidak bertanggung jawab dalam penggunaan layanan pay later.
“Risiko yang mungkin berkaitan dengan risiko kepercayaan. Biar bagaimanapun sejauh ini bank yang mengeluarkan layanan pay later adalah bank konvensional dan sepertinya bank syariah belum mengeluarkan fitur pay later,” paparnya.
Menurut Bayu, hal ini juga dapat menimbulkan budaya konsumtif pada masyarakat.
“Bagi budaya perbankan ini sangat baik, karena bisa mendatangkan keuntungan. Tapi bagi masyarakat, apalagi yang tidak punya literasi keuangan, bisa menyebabkan budaya konsumtif. Kalau tidak hati-hati, masyarakat bisa terjebak dalam hutang yang pada akhirnya bisa mengganggu cash flow keuangan keluarga,” paparnya.
Inklusivitas Perekonomian
Terlepas dari risiko yang akan ditimbulkan, Bayu mengungkapkan bahwa layanan ini justru dapat memancing minat investasi dalam industri keuangan karena melihat lonjakan pangsa pasar yang ada di Indonesia.
“Sekarang kegiatan belanja masyarakat meningkat dengan adanya transaksi pembayaran yang lebih cepat dan efektif. Nah, dengan melihat fenomena ini, tentunya banyak perusahaan asing maupun lokal yang akan investasi di Indonesia. Selain itu, investasi dalam hal teknologi dan industri keuangan akan meningkat, sehingga hal ini dapat mendorong juga keuangan Indonesia secara makro,” jelasnya.
Dengan masifnya pengguna e-money, Bayu melihat layanan fitur pay later berpeluang untuk mendorong inklusivitas perekonomian. Namun, menurut Bayu perlu adanya peningkatan penggunaan UI dan UX mobile banking yang readability agar mudah digunakan oleh masyarakat awam.
Bayu juga menganjurkan para nasabah muslim menggunakan fitur pay later syariah yang telah dikeluarkan oleh lembaga keuangan seperti fintech. Menurut Bayu, inklusivitas akan dapat tercapai apabila lembaga keuangan seperti perbankan bisa meluncurkan fitur serupa berbasis syariah.
“Sejauh ini belum ada layanan pay later syariah yang dikeluarkan oleh perbankan syariah. Padahal dengan adanya layanan syariah dapat lebih cepat mendorong inklusivitas perekonomian negara. Seperti contoh, dalam layanan kartu kredit syariah, yang mana biasanya bank syariah mendapatkan keuntungan dengan ujrah dari service yang diberikan. Jadi saya akan sangat merekomendasikan apabila ada lembaga keuangan yang akan meluncurkan layanan pay later syariah,” ungkapnya.(yul)