SURABAYA, HKS-News.com|

Menjelang pekan raya pemilihan presiden, menjadikan suasana masyarakat akhir-akhir ini diwarnai dengan berbagai isu politik. Hingga akhir tahun 2023 ini lekat disebut sebagai tahun politik. Mengingat pekan pemilihan umum atau pemilu semakin dekat. 

Keberlangsungan pemerintahan sebelumnya tidak tertinggal menjadi suatu sorotan. Sebagian masyarakat turut merasa puas dengan hasil kerja pemerintahan presiden sebelumnya, yakni Presiden Ir Joko Widodo. Namun, tidak menutup kemungkinan hadirnya kritikan-kritikan dari berbagai pihak. Terutama kalangan anak muda. 

Kritikan bukan hal terlarang untuk dilakukan terhadap pemerintah. Namun, belakangan ini banyak muncul kritikan dari kalangan anak muda terpelajar yang mengesampingkan nilai etika. Padahal, sebagai sosok terpelajar, seharusnya dapat menjunjung tinggi nilai etika dalam kehidupan mereka. 

Mengenai isu tersebut, Dr Listiyono Santoso SHum MHum, selaku dosen Filsafat, Fakulats Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) turut memberikan tanggapannya. Menurut Listiyono, anak muda yang melakukan kritik terhadap pemerintahan memiliki keberanian yang luar biasa. Namun kerap mengesampingkan nilai-nilai yang ada, seperti halnya nilai etika. 

“Kadang, anak muda itu penuh keberanian, tetapi kurang memperhatikan risiko dan perasaan orang lain,” tutur Listiyono. 

Kritik Itu Perlu

Ketika berjalannya suatu pemerintahan, sudah sepatutnya rakyat melakukan pengawasan. Maka, menurut Listiyono, kritik terhadap pemerintah atau kekuasaan merupakan hal yang perlu dilakukan. Karena menurutnya, bagaimana pun pemerintah dan penguasa adalah sesuatu yang harus dikontrol dan diawasi. 

“Selain lembaga legislatif mengawasi, masyarakat juga boleh melakukan kontrol atas bagaimana jalannya kekuasaan itu,” ungkapnya. 

Namun, satu hal yang perlu diperhatikan. Bahwa kritik harus dilandasi oleh kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, dan kebijaksanaan yang terdapat pada sila keempat Pancasila. Ia menekankan, kritik yang dilakukan merupakan sebagai bentuk kontrol atas kinerja. 

“Artinya, kritik itu tidak untuk merendahkan kekuasaan atau seseorang yang sedang berkuasa. Tapi dipakai untuk melakukan kontrol atas kinerja. Bedakan antara kritik dengan menghina,” jelas Listiyono. 

Etika publik dalam melakukan kritik merupakan suatu keharusan. Serta, kemampuan membedakan antara kritik dengan menghina juga perlu. Menurut Listiyono, kritik merupakan sebuah keniscayaan, namun menghina bukan bagian dari kritik. Perlu diperhatikan pula, adat serta budaya luhur yang sejak lama ada. 

“Dalam adat budaya luhur kita, seorang pemimpin itu harus dihormati. Kita boleh mengkritik kinerjanya, tapi kita tidak boleh menghina personalnya. Karena demokrasi kita bukan demokrasi liberal. Demokrasi kita berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,” ungkapnya. 

Kritik yang Bijak, Kritik dengan Bahasa yang Baik

Listiyono telah menyampaikan sebelumnya, bahwa sistem demokrasi Indonesia bukanlah sistem liberal. Melainkan berdasar pada ideologi bangsa, yakni Pancasila. Maka, ketika menyampaikan kritik, ada nilai-nilai dalam Pancasila yang tetap harus ditegakkan. 

“Kalau saya melihat, memang ini menjadi sebuah warning bagi kita, bahwa setiap kritik yang dilakukan itu harus tetap berada dalam koridor nilai yang ditegakkan,” ucapnya. 

Di samping menjunjung nilai etik, pemilihan diksi dalam mengkritik pun menjadi suatu hal yang wajib. Kemampuan mengolah kata menjadi suatu kalimat yang baik, maka kritik yang disampaikan akan lebih mudah diterima. Berbeda ketika suatu kritik dikemas dengan bahasa yang kurang tepat.(Yul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *