SURABAYA, HKS-News.com|
Bahan pokok beras, sejak awal Agustus mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Meskipun pemerintah provinsi Jatim mengklaim bahwa panen padi mengalami surplus lebih dari 20 persen, namun kenyataannya tidak bisa mengcover kebutuhan masyarakat Jatim. Bahkan saat ini harga beras melebihi HET (Harga Eceran Tertinggi).
Menanggapi polemik tersebut, anggota DPRD provinsi Jatim Dr Drs Agus Dono Wibawanto MHum menuturkan bahwa penyebab utama terjadinya kenaikan beras akibat El Nino dan La Nina, serta perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai.
El Nino dan La Nina terjadi akibat interaksi antara permukaan laut dan atmosfer di Pasifik tropis. Perubahan suhu muka laut di wilayah ini mempengaruhi atmosfer di atasnya.
Perubahan atmosfer juga mempengaruhi perubahan suhu dan arus laut melalui mekanisme umpan balik (feedback) atmosfer-laut. Sistem interaksi atmosfer-laut ini berosilasi antara kondisi hangat (El Nino) ke netral atau dingin (La Nina) rata-rata memiliki siklus setiap 3-4 tahun, dan mempengaruhi pola iklim di seluruh dunia setiap 3-4 tahun.
El Nino meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah, dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Singkatnya, El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.
Sementara La Nina mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah, dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.
Prediksi El Nino dan La Nina yang akurat akan berguna dalam peringatan dini, dan antisipasi terjadinya iklim ekstrem yang berasosiasi dengan bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Menurut Agus, meskipun pemerintah gemar mengatasi masalah kebutuhan pangan dengan mengimpor, namun kebijakan tersebut tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Karena saat ini, hampir semua negara, seperti China, Thailand, Malaysia dan negara Asia lainnya, tidak akan membuka kran ekspor.
“Mereka saat ini pasti akan menahan berasnya untuk diekspor. Karena terjadinya El Nino dan La Nina ini, ketersediaan beras diprioritaskan untuk warga negara mereka sendiri. Fenomena alam ini adalah satu bentuk peringatan Allah SWT melalui alam, apalagi juga terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina tak kunjung usai,” terang penasehat fraksi Demokrat DPRD provinsi Jatim ini.
Wakil ketua DPD partai Demokrat Jatim ini menjelaskan, kalau beras di negara Vietnam, Thailand dan negara Asia lainnya, hari ini mereka menahan berasnya dengan mempertahankan stoknya untuk kepentingan internal.
“Menurut saya, pemerintah harus berani mengambil keputusan politik untuk segera memfasilitasi petani untuk kepentingan produksi beras. Pemerintah selama ini sangat getol mengimpor beras. Bahkan pemerintah sudah memesan beras 1 juta ton ke negara Thailand. Kenapa setiap menyangkut permasalahan pangan pemerintah selalu mengambil jalan pintas dengan mengekspor. Padahal dengan mengekspor akan mengurangi devisa negara,” tandas anggota komisi B DPRD provinsi Jatim ini.
Gus Don, panggilan akrab Agus Dono Wibawanto, menyebutkan
selama ini pemerintah tidak memiliki ketegasan untuk mewujudkan swasembada pangan. Bahkan kebutuhan pokok petani yang terkait dengan pupuk subsidi, semakin lama jatah para petani dikurangi.
“Bagaimana gaung pemerintah yang mengatakan akan mewujudkan swasembada pangan, sementara kebutuhan pokok petani terhadap pupuk subsidi saja tidak bisa dipenuhi. Padahal cikal bakal swasembada pangan itu adalah memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh petani untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah ruah,” tegasnya.
Gus Don menyampaikan indikatornya hanya produk beras lah yang semua harganya ditentukan oleh pemerintah, dengan HET yang tidak sesuai dengan biaya produksi tentu akan membuat para petani semakin rugi.
“Karena kebutuhan pasar dan stok yang tersedia tidak seimbang. Kenapa sih beras menjadi komoditas politik, karena Republik ini hadir dengan kebijakan semua Presiden yang mengendalikan beras sebagai kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Hal ini akan mengakibatkan nasib petani terkatung-katung, terlebih ketika tumpuk pimpinan sebagai pengendali tidak memiliki keinginan untuk meningkatkan taraf hidup para petani,” tukasnya.
Seharusnya beras ini jangan hanya dijadikan komoditas politik. Harusnya benar-benar sebagai kepentingan kehidupan bermasyarakat, untuk itu anggaran harus ditingkatkan dan kebutuhan petani difasilitasi.
“Solusinya hanya satu, yang namanya pupuk subsidi itu jangan dikurangi. Yang kedua sektor irigasi ditingkatkan. Yang ketiga kasih asuransi produk pertanian. Yang keempat siapkan lembaga yang benar-benar memfasilitasi kepentingan petani. Kalau itu sudah tersedia, saya pikir saat ini pemerintah tidak perlu meng-import beras, karena swasembada pangan sudah bisa diwujudkan. Dan para petani bisa merasakan hidup makmur sejahtera. Petani bisa bernafas lega karena bisa menikmati hidup menjadi orang kaya seperti jaman orde Baru. Dulu petani dikonotasikan sebagai pengusaha beras yang kaya raya,” pungkasnya.(Yul)