SURABAYA, hks-news.com|
Kemajuan dan perkembangan teknologi yang terjadi secara masif pada revolusi industri 4.0 memberikan kemudahan signifikan pada aktivitas manusia.
Namun, dampak lain dari perkembangan itu juga tidak terelakan. Peran pekerjaan manusia akan semakin tergantikan oleh teknologi.
Kemampuan untuk beradaptasi menjadi penting, tidak terkecuali untuk profesi akuntan.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof Iman Harymawan SE MBA PhD dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair).
Ia memberikan pidato berjudul Akhir Perjalanan Profesi Akuntan: Fiksi atau Realitas? Pengukuhan berlangsung pada Kamis (27/7/2023) di Aula Garuda Mukti, Unair.
“Banyak bisnis yang berkembang, hanya membutuhkan kurang dari satu juta rupiah agar dapat subscribe aplikasi keuangan end-to-end, dibandingkan merekrut akuntan, yang tentunya ingin gaji UMR setiap bulannya,” ungkap Guru Besar bidang ilmu Akuntansi Kelanjutan dan Tata Kelola tersebut.
Peran Akuntan di Gerakan Keberlanjutan
Namun menurutnya, akuntan tidak hanya dibutuhkan sekadar untuk membuat laporan keuangan semata, melainkan lebih dari itu.
Isu keberlanjutan yang kerap disiarkan menjadi peluang besar bagi seorang akuntan. Apabila melihat lebih jauh, banyak peranan akutan dan profesinya yang terlibat di dalam gerakan keberlanjutan.
Prof Iman menyampaikan bahwa salah satu organisasi standar pelaporan akuntansi internasional, IFRS foundation, kini tengah mengembangkan International Sustainability Standard Board yang mengkonsolidasi standar pelaporan keberlanjutan perusahaan.
Ia melanjutkan, dalam konteks keberlanjutan, tugas akuntan adalah sebagai regulator untuk mengembangkan suatu standar dan auditor yang memeriksa dan memastikan prinsip keberlanjutan dalam suatu perusahaan.
“Peran inilah yang membuat akuntan sebagai ‘wadah’ atas keahlian-keahlian teknis dari profesi lain dalam mendukung keberlanjutan global,” jelasnya.
Literasi keberlanjutan Indonesia yang masih sangat mungkin untuk dikembangkan, menjadi kesempatan emas bagi akuntan untuk memanfaatkannya. Sebagai bukti, dari daftar perusahaan paling berkelanjutan di dunia yang dikembangkan oleh 5 lembaga ESG raters, tidak ada satupun perusahaan Indonesia.
Selain itu, dari 523 perusahaan yang menerbitkan laporan keberlanjutan, hanya 47 persen yang memiliki kerangka kerja keberlanjutan yang jelas.
“Manajer keberlanjutan perusahaan, meskipun tidak berlatar belakang pendidikan akuntansi, mereka menerapkan prinsip-prinsip akuntansi dalam memonitor progres inisiatif sosial-lingkungan,” tutur guru besar dengan jumlah dokumen publikasi terindeks Scopus sebanyak 83 tersebut.
Perlunya Transformasi Kurikulum
Iman juga menyampaikan tentang adanya irisan antara akuntan dan keberlanjutan. Jelasnya, akuntan dikenal dengan keterkaitannya atas proses auditing informasi keuangan.
Saat ini, tren tersebut juga mulai memasuki era dimana akuntan memberikan asuransi pada informasi keberlanjutan perusahaan. Akuntan juga dikenal sebagai garda terdepan dalam inisiatif keberlanjutan yang bertujuan akhir efisiensi biaya.
“Menyadari hal ini, akademisi akuntansi harus mengambil peranan krusial mereka. Yaitu mengubah kurikulum akuntansi kita, dari yang bersifat sangat teknis menjadi lebih strategis,” ucapnya.
Transformasi kurikulum akuntasi di perguruan tinggi menjadi hal penting. Menurutnya, kurang lebih hanya 13 persen mata kuliah yang bersifat strategis di kurikulum S1 Akuntansi. Padahal, universitas memiliki peran penting untuk mempersiapkan pilar fundamental dari semua yang diajarkan untuk memungkinkan mahasiswa dapat memecahkan masalah di dunia nyata.
“Keberlanjutan itu multi-disiplin. Sehingga, akuntan perlu memahami bidang-bidang keilmuan lainnya secara strategis. Akuntan ke depannya harus memahami keberlanjutan, mulai dari ESG hingga SDG,” pesannya. (Yul)