SURABAYA, hks-news.com|
Kebijakan program PPDB system zonasi, yang diluncurkan oleh Dinas Pendidikan dan kebudayaan pemerintah pusat, menurut Hartoyo SH MH belum bisa menyelesaikan polemik yang terus berkepanjangan. Kebijakan tersebut tidak bisa diimplementasikan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk diantaranya adalah di Jawa Timur.
Di Surabaya sendiri, ada 31 kecamatan, 16 diantaranya tidak memiliki gedung sekolah SMAN dan SMKN, sehingga bisa dipastikan masalah pendidikan tersebut setiap tahun akan menuai konflik.
“Kenapa para orang tua dan anak didik sangat membutuhkan bisa ditampung di sekolah SMAN dan SMKN. Karena sebagian besar dari mereka, tidak mampu. Mereka menginginkan anak-anak bisa duduk di bangku sekolah negeri agar beban hidup mereka bisa dikurangi. Karena kalau anak-anak bisa diterima di sekolah negeri, mereka tidak perlu membayar SPP,” terang wakil ketua DPD partai Demokrat Jatim ini.
Program-program pemerintah provinsi Jawa Timur yang diinisiasi oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa bernama Tistas (Gratis Berkualitas) memang sangat membantu, terutama untuk masyarakat miskin.
“Setiap kali disambati kalau anak-anak mereka tidak bisa ikut ujian, Karena mereka tidak bisa membayar SPP yang numpuk. Saya merasa sangat prihatin, sedih dan juga bingung. Selama ini saya sudah berjuang untuk melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat, agar mereka bisa membantu untuk membangun gedung sekolah di setiap kecamatan, baik SMAN maupun SMKN. Tujuannya agar seluruh masyarakat bisa menikmati pendidikan gratis, agar nantinya ada peningkatan IPM (Indeks Prestasi Manusia),” sambungnya.
Mantan ketua komisi E DPRD provinsi Jatim ini mengungkapkan, pembayaran SPP bagi SMA dan SMK swasta, memegang peranan yang sangat penting. Karena penghasilan mereka 100 persen bergantung pada rotasi kelancaran SPP para siswa.
“Mau protes seperti apa, kita juga menyadari bahwa kelangsungan hidup sekolah swasta, sangat tergantung pada pembayaran SPP para siswa. Sekolah membutuhkan uang operasional, untuk menggaji para guru, untuk kebutuhan-kebutuhan seperti membayar listrik, membayar air PDAM, untuk perawatan sekolah, untuk alat-alat tulis yang dibutuhkan, baik untuk proses belajar mengajar, maupun untuk administrasi kantor di sekolah,” lanjutnya.
Hartoyo memberikan gambaran, jika saja pemerintah provinsi dan pemerintah daerah berkolaborasi, bersama-sama menuntaskan masalah pembangunan sekolah, maupun pembayaran SPP para siswa, tentu masalah ini bisa terselesaikan.
“Pemerintahan daerah menyediakan lahan, sementara pemerintah provinsi yang membangun gedung sekolah negerinya. Saya rasa itu bisa dilakukan, agar seluruh siswa di setiap kecamatan bisa tertampung untuk bisa menikmati sekolah negeri yang gratis,” paparnya.
Strategi yang kedua, menurut Hartoyo keberlangsungan sekolah swasta juga perlu dipikirkan.
“Pemerintah daerah yang memiliki APBD besar, seperti kota Surabaya ini, memiliki kebijakan untuk membayar SPP para siswanya yang notabene adalah warga mereka sendiri, sehingga meskipun para siswa bersekolah di sekolah swasta, mereka tidak perlu sedih dan bingung untuk membayar SPP, karena kota Surabaya sudah meng-cover pembayaran SPP mereka,” tandasnya.
Jika kebijakan tersebut dilaksanakan, Hartoyo yakin masalah pendidikan bisa terselesaikan dengan tuntas. Pemerintah daerah tidak perlu egosentris, lihatlah warganya yang hidup serba kekurangan. Jangankan untuk membayar SPP, seringkali untuk kebutuhan makan sehari-hari saja, mereka sudah sangat kesulitan. (Yul)