SURABAYA, hks-news.com|
Anggota DPRD provinsi Jatim Agatha Retnosari ST menuturkan, bahwa pihaknya mendapat keluhan dari masyarakat pelaku UMKM terkait sertifikasi halal. Karena standar yang ditetapkan oleh pemerintah terlalu sulit untuk dilakukan oleh para pelaku UMKM.
“Begitu banyak pemerintah kota Surabaya melontarkan program-program yang mendukung UMKM, apalagi sudah terbukti beberapa kali krisis ya UMKM yang paling bisa bertahan, termasuk waktu pandemi Covid-19 kemarin. Kenapa mereka bertahan, ya karena pasarnya sudah tertentu.
Contoh misalnya toko kelontong yang beli di toko kelontong ya warga Kampung setempat, waktu pandemi ada PPKM yo orang kampung itu belinya kebutuhan sehari-hari di toko kelontong itu,” terang politisi PDI-P ini.
Agatha menyebut, artinya para UMKM pemilik tokoh pembelinya
enggak ada peningkatan, juga tak ada pengurangan dari pendapatan. Jadi meskipun Pandemi UMKM tetap bertahan.
“Tapi kita harus bisa mendorong yang mikro ultra untuk naik kelas menjadi usaha kecil. Salah satunya ya melakukan pengembangan pasar. Bagaimana kalau misalnya dia sudah punya NIB (Nomor Induk Berusaha), atau punya sertifikat BPOM, hal itu kan salah satu syarat untuk bisa pengembangan pasar agar usahanya meningkat. Kalau pasar berkembang, otomatis omset naik, ya harapannya kan UMKM pasti naik kelas,” sambung anggota komisi B DPRD provinsi Jatim ini.
Agatha menuturkan, Pemkot Surabaya disamping menyediakan pendampingan untuk UMKM, pihaknya mengaku ada temuan di lapangan bahwa banyak UMKM yang belum memiliki NPWP.
“Untuk mendapatkan order yang besar, setiap UMKM harus memiliki NPWP. Karena jaringan pemasaran yang luas membutuhkan dokumen legalitas untuk mendapatkan fasilitas dalam penjualan produknya, maupun untuk membuka jaringan lebih luas. Bukan hanya itu, saat ini di banyak daerah, termasuk pasar internasional untuk ekspor, UMKM harus memiliki sertifikat halal,” tandasnya.
Agatha mengungkapkan, dirinya juga melakukan sosialisasi terkait sertifikasi halal yang harus dikantongi oleh UMKM yang memiliki produk makanan maupun minuman. Namun ditengah perjuangan untuk membantu pelaku UMKM agar memiliki legalitas sertifikat halal, ternyata tidak mudah.
“Banyak pelaku UMKM setelah mendaftar untuk mendapatkan sertifikat halal, ternyata banyak
yang mundur. Pertama karena mereka merasa tidak sanggup memenuhi syarat-syarat yang menurut UMKM itu terlalu berat. Contoh misalnya pedagang pangsit ayam, mereka kesulitan untuk bisa mencari ayam yang halal. Kalau membeli ayam di pasar siapa yang menjamin halalnya. Maka harus beli ayam di rumah potong unggas, RPU (Rumah Potong Unggas). Di Surabaya cuman ada dua, di pasar Wonokromo, dan pasar Wonorejo. Sementara kedua RPU tersebut sangat terbatas dalam memotong unggas,” lanjutnya.
Kemudian, bagaimana dengan nasib pedagang ayam di pasar-pasar tradisional. Apakah pemerintah memikirkan untuk memberikan edukasi agar para pedagang ayam ini bisa memotong unggas dengan cara sesuai mekanisme halal. Dan pemerintah juga memberikan apresiasi kepada mereka dengan memberikan sertifikat halal.
“Ini yang saya ingin sampaikan. Kalau dalam ketentuan pelaku UMKM bisa mendapatkan sertifikat halal, harus dimulai dari bahan baku harus diproses secara halal, agar pelaku UMKM bisa dengan mudah mengemas produknya untuk mendapatkan sertifikat halal. Setelah melalui berbagai ujicoba, pelaku UMKM juga bisa mengembangkan pengetahuan tentang membuat produk yang lebih baik dan diminati oleh pasar, baik pasar domestik maupun internasional,” pungkasnya.(Yul)