SURABAYA, HKS-News.com – Sudah menjadi tradisi di Indonesia, jika terjadi pergantian Presiden, ganti menteri, ganti pula kebijakan.
Yang hingga saat ini masih menimbulkan banyak konflik dan perdebatan, adalah kebijakan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) system zonasi yang digagas oleh mantan menteri Pendidikan Muhajir Efendi.
Meskipun sebenarnya keinginan tersebut untuk pemerataan pendidikan, agar tidak terjadi kesenjangan sosial, namun karena kebijakan tersebut tidak disertai dengan ketersediaan fasilitas infrastruktur yang memadai, kebijakan PPDB System Zonasi menimbulkan dampak dan konflik berkepanjangan hingga saat ini.
Menanggapi polemik tersebut, anggota DPRD provinsi Jatim Puguh Wiji Pamungkas menegaskan, bahwa pihaknya tetap mendukung PPDB System Zonasi.
“Sejak diberlakukannya PPDB System zonasi itu kan memang menjadi polemik ya, karena sudah sekian puluh tahun sistem pendidikan kita tidak ada zonasi, kemudian diubah zonasi. Jadi dalam perspektif yang lain itu memang mungkin dulu maksud dari Kementerian Pendidikan itu bagus, agar ada pemerataan kualitas pendidikan itu kan diikuti dengan berbagai macam bantuan yang digelontorkan pemerintah pusat ke daerah, lewat DAK (Dana Alokasi Khusus) atau DAU (Dana Alokasi Umum) yang dananya peruntukannya untuk pendidikan,” terang politisi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ini.
Puguh mengungkapkan digelontorkannya DAK maupun DAU ini termasuk amanat undang-undang yang menyebutkan 20% dari APBD dan APBN dialokasikan untuk pendidikan.
“Sebenarnya program yang lain kan banyak sekali ya, termasuk untuk guru, untuk sekolah, kemudian BOPDA (Bantuan Operasional Pendidikan Daerah) itu kan sebenarnya untuk mensupport program zonasi itu. Cuma memang proses ini kan tidak semudah membalikkan telapak tangan, namanya mengubah persepsi masyarakat yang dulunya itu menganggap bahwa kalau enggak sekolah di X sekolah favorit itu, maka rasanya kurang pas. Atau sebaliknya, sekolah di daerah pelosok itu tidak bermutu dan seterusnya, nah ini yang memang menjadi masalah,” tukas anggota komisi E DPRD provinsi Jatim ini.
Tetapi apapun itu, seperti statement terakhir Wapres. Saat rapat koordinasi dengan seluruh Kepala Dinas Pendidikan se-indonesia. Ada dua opsi yang digagas.
“Yang pertama menghapuskan zonasi, yang kedua melindungi guru dalam proses belajar mengajar, karena dengan adanya undang-undang perlindungan anak itu menjadikan paradox inticing. Jadi guru itu enggak bisa leluasa memberikan pengajaran kepada murid karena dia takut, takut ketika misalkan menerapkan disiplin kepada anak didiknya, itu bisa dilaporkan dalam bab kekerasan kepada anak,” sambungnya.
Makanya ini juga sebenarnya menjadi satu lingkaran-lingkaran yang membuat kusutnya pendidikan di Indonesia, termasuk kalau kita berbicara Jawa Timur juga demikian.
Dengan luas wilayahnya Jawa Timur disparitasnya ini kan memang terasa banget, antara Surabaya dengan Banyuwangi, dengan Sumenep, dengan Malang, dengan bagian Selatan dan seterusnya itu kan menjadi masalah.
“Saya pikir kalau kemudian zonasi itu dicabut, ya it’s fine gitu. Tetapi saya sangat support dengan program yang sudah berjalan untuk memberikan porsi yang luar biasa kepada penyelenggaraan pendidikan di pelosok-pelosok itu, melalui program yang sekarang sudah jalan itu. Misalkan kayak memberikan porsi yang lebih kepada sekolah-sekolah yang diberikan bantuan meskipun mereka ini belum akreditasi A, meskipun mereka ini belum akreditasi B misalkan, tetapi mereka diberikan porsi yang lebih baik sekolahnya dalam memberikan BPOPP (Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan) ataupun gurunya ditingkatkan kualitasnya,” tandasnya.
Puguh menambahkan, selama ini sertifikasi itu sebenarnya untuk menstandarisasi mereka, membuat rangkaian laporan-laporan pelatihan segala macam, tetapi ini belum benar-benar terkonfirmasi. Apakah dengan program itu bener-bener meningkatkan kualitas guru dalam hal memberikan pengajaran kepada anak didiknya.
“Proses itu berlanjut hingga sekarang. Kemudian ada rencana untuk mengembalikan UN (Ujian Negara). Jadi terkait undang-undang pendidikan itu kan kita ngikut pusat ya, enggak bisa itu bener-bener tersalurkan sesuai dengan sasaran. Sasarannya siapa, masyarakat yang perifer yang pinggir, yang menengah ke bawah, yang kategori miskin itu, yang kategori ekstremiskin, dan terancam miskin. Menurut saya, yang perlu di sini itu bukan malah dikasihkan kepada masyarakat di wilayah yang sudah maju dan berkembang. Karena kita kan konteksnya itu berbicara memperkecil disparitas pendidikan, antara Jawa Timur di perkotaan dengan Jawa Timur yang ada di pelosok,” pungkasnya. (Wahyu)