SURABAYA, hks-news.com| Masalah kenaikan harga kedelai lokal, memicu pemerintah mengimpor kedelai dari Amerika, terutama dari Brazilia. Disamping harga kedelai tersebut jauh lebih murah dari kedelai lokal, kedelai impor ini juga lebih besar dan mudah mengembang. Sehingga produsen Tempe lebih suka memproduksi Tempe nya dengan menggunakan bahan baku kedelai impor.

Namun, yang tidak disadari oleh produsen adalah bahwa Tempe yang dihasilkan tersebut, bisa memicu terjadinya kanker serviks.

Karena kedelai impor mengandung GMO (Genetically Modified Organism), kedelai tersebut merupakan Produk Rekayasa Genetika (PRG) yang dianggap sebagai solusi ketahanan pangan dan pemeliharaan sumber daya lingkungan dari serangan hama.

Di sisi lain, peneliti independen, pengamat lingkungan, dan konsumen mengkhawatirkan risiko baru dari pangan PRG seperti alergi makanan, kenaikan resistansi antibiotik, dan dampak kesehatan manusia yang tidak diinginkan lainnya. 

“Kedelai impor ini sebenarnya diperuntukkan bagi hewan, bukan manusia. Saya pernah mengintervensi perusahaan tempe. Waktu itu saya usulkan agar mereka tidak menggunakan kedelai impor untuk membuat tempe, karena sangat berbahaya, tidak baik untuk kesehatan. Pemerintah malah melibatkan koperasi untuk mengelola pendistribusian kedelai impor ini,” terang Dr drs.Agus Dono Wibawanto MHum.

Wakil ketua DPD partai Demokrat Jatim ini menuturkan, pemerintah melibatkan koperasi tersebut dianggapnya sebagai kompensasi agar proses impor kedelai berjalan aman.

“Sebetulnya kalau kita mau jujur kedelai yang terbaik itu ya produk lokal, punya kita sendiri. Cuman masalahnya, menanam kedelai itu panennya lama. Di Indonesia ini masyarakat pedesaan profesinya hanya sebagai petani. Hidupnya sangat bergantung pada hasil panen. Kalau hanya mengandalkan dari panen kedelai, tentu mereka tidak bisa bertahan,” sambung anggota komisi B DPRD provinsi Jatim ini.

Gus Don, panggilan akrab Agus Dono Wibawanto, menyebutkan kedelai lokal lebih banyak digunakan oleh produsen pabrik Tahu. Karena kedelai lokal ini lebih banyak saripatinya, karena itu Tahu jauh lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat.

Gus Don mengatakan, saat pihaknya masih menjabat sebagai ketua komisi B DPRD provinsi Jatim, dirinya pernah mengusulkan agar pemerintah mengimpor kedelai dari Australia. Kedelai Australia yang diberi nama Rubing ini jauh lebih bermanfaat, harganya juga jauh lebih murah

“Kedelai Rubing itu warnanya kuning, kandungan proteinnya lebih bagus daripada kedelai impor dari Amerika. Harganya lebih murah. Anehnya pemerintah itu, semua di Politik-kan. Kedelai impor dari Amerika bea masuk nol tapi Rubin dikenai pajak 20 persen. Makanya tidak bisa bersaing. Padahal sudah diuji di IPB bahwa kandungan proteinnya bagus, kandungan semuanya bagus. Jadi Indonesia ini satu wilayah di mana setiap produk-produk importasi itu ada produk-produk, ada dimensi politiknya,” tegasnya. 

Gus Don menyesalkan perilaku pemegang kekuasaan. Ketika pihaknya berjuang untuk 

kepentingan masyarakat, malah dijegal, di goreng. Semua kebijakan menggunakan dimensi politik.

“Saran saya pemerintah harusnya memberikan ruang yang luas kepada semua komoditas yang bisa dimanfaatkan oleh kepentingan masyarakat secara utuh, kalau kita memang ingin swasembada kedelai, berilah subsidi kepada petani. Setidaknya, agar kedelai produk Indonesia bisa menjadi bahan baku bagi produsen pabrik Tahu dan Tempe,” pungkasnya.(Yul) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *