SURABAYA, HKS-News.com-

FHIKEPO sebuah ruang dialog kreatif antara generasi muda PCU dengan para pelaku dunia Seni Pertunjukan Indonesia.  

Faculty of Humanities and Creative Industries atau FHIK Petra Christian University (PCU) kembali menghadirkan pengalaman seru nan inspiratif bagi para mahasiswanya melalui berbagai kegiatan bertajuk FHIKEPO.

Salah satunya, mereka diajak berdiskusi tentang film yang tak ditayangkan secara bebas dan merupakan hasil karya anak bangsa. Ialah “Gesturing Notations”, film dokumenter yang menyoroti perjalanan dari Teater Koma. 

Acara apik ini digelar pada Jumat, 13 September 2024 mulai pukul 10.00-11.30 WIB di Matthew Conference Room, Gedung Radius Prawiro lantai 10, Kampus PCU. 

“Jumlah teater yang aktif di Surabaya terbilang cukup minim. Padahal dunia film dan teater merupakan ladang subur untuk menumbuhkan kreativitas. Selain diajak untuk berpikir out of the box, lewat kegiatan ini para mahasiswa juga diajari bagaimana mengeksplorasi ide baru yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya visual dan pertunjukan. Sehingga ini sangat pas bagi para mahasiswa FHIK PCU,” kata Meilinda, S.S., M.A., selaku Ketua Panitia.

FHIKEPO ini menghadirkan dua pembicara, salah satunya yakni George Arief. Ia merupakan pemilik Spins Productions, sebuah rumah produksi iklan dan dokumenter yang telah tayang di TV dari berbagai negara seperti AS, Inggris, dan Singapura. 

Sementara itu, film “Gesturing Notations” merupakan salah satu film dokumenter karya George Arif yang bercerita tentang Teater Koma, sebuah teater modern Indonesia dengan basis di Jakarta. Teater ini sudah berdiri 47 tahun, tetapi terus produktif, adaptif, dan kreatif.

Hadir pula Rangga Riantiarno, seorang penulis, sutradara, dan aktor. Rangga merupakan anak mendiang Nano Riantiarno, sang pendiri Teater Koma. 

“Teater Koma itu satu-satunya teater modern Indonesia yang masih bertahan hingga sekarang,” imbuh Meilinda.

Saat diskusi film, George Arif  mengupas tuntas tentang proses pembuatan film dokumenter yang dibuat selama 8 tahun lamanya ini. 

Sementara Rangga Riantiarno bercerita tentang korelasi dari isi film dengan proses nyata sehari-hari yang dialaminya selama berkarya di Teater Koma.

“Buat saya setiap tempat punya cara bercerita dan cara mempersepsikan masing-masing. Saya senang sekali ada di sini dan bisa interaksi sama teman-teman di Surabaya, dan terima kasih untuk semuanya. Saya berharap kehadiran kita bisa memotivasi, saya senang sekali dengan respon yang apresiatif baik dari teman-teman SMP SMA maupun teman-teman yang sudah bekerja yang saat ini mengikuti diskusi ini,” jelas George Arif.

George menuturkan, dengan kehadiran film tersebut pihaknya meyakini akan makin banyak orang yang paham dan mengerti tentang aktor dan kehidupan berkesenian, khususnya berteater.

“Biar banyak generasi berikutnya yang bisa menggali harta yang berharga ini. Film ini sudah dapat apresiasi dari dua negara, sejauh ini di sosial selection di league of global network dari Amerika sama furniture festival dari India. Saat ini sedang saya kelilingkan ke beberapa festival, kalau rekan-rekan mau nonton ada di bioskop online.com bisa search bisa ditonton di situ,” sambungnya.

George mengakui untuk saat ini pihaknya mungkin akan bekerja sama dengan konten budaya, kampus-kampus, bisa disimak di Instagram ada live streamingnya juga.

“Sebenarnya seni dan budaya itu suatu hal yang penting ya, karena kadang mungkin orang tidak melihatnya sebagai suatu hal yang sebegitu penting, tapi justru kita lihat gimana di tahun-tahun ’80-90 kan dunia ini lagi krisis dan susah, tapi dilihat musik di tahun ’80-90 sangat bagus dan mungkin rasanya enggak bisa terulang lagi

masih sebagus itu, di situlah pentingnya seni, begitulah pentingnya budaya, di situlah pentingnya orang berekpresi dan berinteraksi, karena dari situ kehidupan kita manusia semakin kaya, dan mungkin kita bisa jadi lebih saling menghargai satu sama lain,” tukasnya.

Menurut George, teater akan tetap menjadi sesuatu yang menarik karena ada gabungan dari yang bersifat visual, bersifat audio, juga bersifat sastra dan banyak elemen yang justru tidak ada di seni lain. 

Disinilah pertunjukan teater berbeda dari yang lain.

“Mudah-mudahan sih penonton akan tetap ada dan tetap ada seniman-seniman muda yang merasa ekspresi mereka bisa tersalurkan lewat teater, tentu artinya mungkin menginspirasi seniman muda untuk tidak patah semangat dalam berkarya,” pungkasnya.(Yul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *