SURABAYA, HKS-News.com – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto resmi tanda tangani pemutihan utang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan, serta UMKM lainnya. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 47 Tahun 2024. Penandatanganan kebijakan tersebut dilaksanakan pada Selasa (5/11/2024) di Istana Merdeka, Jakarta.
Terkait kebijakan tersebut, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (UNAIR), Gitadi Tegas Supramudyo memberikan tanggapan. Menurutnya, niat baik sang presiden tersebut harus diikuti dengan langkah ke depan yang lebih jelas dan konkret.
“Masalahnya terdapat pada pemetaan inventarisasi data terkait dengan fakta, yang menyatakan berapa banyak jumlah target grup dari petani, nelayan dan UMKM yang utang. Karena prinsip utang sendiri adalah mengembalikan. Dan ketika kemudian diputihkan beban itu akan lari ke mana? Sehingga yang menjadi penting di tahap berikutnya adalah pemetaan inventarisasi dari data terkait dengan kelompok masyarakat yang dituju,” ucapnya.
Dampak dan Efektivitas Kebijakan
Gitadi menjelaskan dalam wawancaranya, bahwa kebijakan pemutihan utang ini harus terpetakan jelas mengenai sisi positif dan negatifnya. Maka dari itu, pemberian pinjaman harus betul-betul berbasis kelayakan dan agunan yang berlaku harus ketat dan tetap transparan.
“Kebijakan pemutihan utang ini menjadi positif jika berbarengan dengan satu kontrak perjanjian ketat untuk berbagai program pinjaman bagi tiga kelompok masyarakat tersebut. Jika tidak, manusiawi orang akan berbondong-bondong mengambil utang, dengan harapan suatu saat utangnya ini akan diputihkan. Nah, Hal ini bisa menjadi sisi negatif yang harus diantisipasi,” imbuhnya.
Berbicara mengenai efektivitas kebijakan ini, Gitadi menegaskan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat tidak langsung. Kebijakan tersebut lebih merujuk pada aspek kemanusiaan seorang presiden dan wakil presiden baru, yang membantu masyarakat termarjinalkan dalam melunasi utang.
“Sekali lagi, kembali pada akurasi data, data yang melibatkan seluruh unsur. Karena integrasi dari beberapa stakeholders ini yang akan menjadi titik kritis agar tepat sasaran,” tegas Gitadi
Potensi dan Risiko Jangka Panjang
Sebagai akademisi yang berfokus pada kebijakan publik, Gitadi berpendapat bahwa keuntungan jelas berpihak pada target kelompok yang tertuju. Dengan asumsi mereka tidak terbebani pada utang.
“Namun keuntungan bagi pemerintah masih bersifat indirect. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan saat ini. Namun bukan keuntungan dari segi finansial,” katanya.
Dalam tujuan mengantisipasi risiko jangka panjang, skema kebijakan ini harus jelas dan kontraktual. Sehingga tidak menimbulkan perspektif masyarakat yang hanya memanfaatkan kebijakan ini dengan tidak tepat.
“Ke depan, program-program untuk kelompok masyarakat yang tertuju hendaknya dilindungi oleh semacam asuransi. Sehingga negara tidak harus mengeluarkan biaya besar untuk dihapus. Akan menjadi semacam back up, yang akan mengurangi beban negara dan juga mengamankan,” pungkasnya. (Wahyu)