SURABAYA, HKS-News.com – Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus ke-16 pada Selasa hingga Kamis (22–24/10/2024) di Kazan, Rusia. Dalam pertemuan tersebut, Sugiono mengumumkan ketertarikan Indonesia untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS. Menurut Sugiono, langkah ini sejalan dengan prinsip “bebas-aktif” Indonesia dalam politik luar negeri.
Pakar kajian Eropa Timur dan Rusia sekaligus dosen Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Radityo Dharmaputra S Hub Int M Hub Int RCEES IntM MA mengkritisi keputusan ini. Menurutnya, keanggotaan di BRICS justru bertentangan dengan prinsip “bebas-aktif”.
“Menurut saya, harus dipertanyakan dulu apa yang menjadi kepentingan Indonesia. Karena bebas-aktif seharusnya didasarkan pada pemenuhan kepentingan nasional Indonesia,” ujar Radityo.
Perspektif Ekonomi
Sementara itu, dari perspektif ekonomi, Radityo berpendapat bahwa bergabung dengan BRICS tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi Indonesia.
“Kalau kepentingannya ekonomi, BRICS tidak akan membantu. Karena toh kita sudah punya hubungan baik dengan semua negara mereka,” papar Radityo dalam wawancaranya.
BRICS merupakan gabungan lima negara besar berkembang: Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Blok ini memiliki tujuan untuk memperkuat peran negara-negara berkembang (Global South) dalam menghadapi dominasi negara-negara maju di dunia dalam menghadapi pengaruh Barat. Radityo menekankan bahwa BRICS bukan sekadar forum ekonomi melainkan blok geopolitik. Blok ini berpotensi merugikan posisi netral Indonesia.
“Kita jangan memandang seakan BRICS ini hanya soal ekonomi. BRICS ini soal geopolitik global, dan sedang tinggi tensi politiknya dengan Barat. Bergabung jelas akan mengindikasikan kita memihak,” terangnya.
Hal ini menjelaskan bahwa keputusan untuk bergabung dengan BRICS bukan sekadar langkah ekonomi, melainkan juga pernyataan posisi politik Indonesia di kancah global.
Perlu Pertimbangan
Radityo berpendapat agar Indonesia mempertimbangkan opsi menjadi partner BRICS tanpa keanggotaan penuh.
“Sebetulnya cukup jadi partner dan ikut saja dalam kegiatannya. Tanpa bergabung sebagai anggota. Sehingga, Indonesia bisa bergerak ke mana saja sesuai kepentingan kita,” jelas alumnus University of Glasgow itu.
Strategi tersebut, imbuh Radityo, memberi Indonesia fleksibilitas dalam berinteraksi di kancah internasional. Dengan cara ini, Indonesia dapat memanfaatkan peluang dalam forum BRICS sekaligus melindungi kepentingan nasionalnya, tanpa harus berpihak pada salah satu kubu dalam ketegangan geopolitik global.
“Jaga jarak politik dengan semua pihak, namun bekerja sama ekonomi dengan semua,” tutupnya. (Wahyu)