SURABAYA, HKS-Nrws.com-
Munculnya kembali keluhan tentang gaji tenaga outsourcing (OS) di lingkungan Pemkot Surabaya yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) menjadi perhatian serius bagi pengamat kebijakan dan anggota DPRD Surabaya.
Ketua MAPEKKAT, Wiwin, menyampaikan bahwa gaji tenaga OS ini sangat mengkhawatirkan. Banyak pegawai kontrak di lingkungan Kota Surabaya yang merasakan ketidakadilan karena upah mereka jauh di bawah UMK Kota Surabaya.
“Mereka hanya menerima upah sekitar 3,7 juta rupiah, sementara UMK 2024 ditetapkan sekitar 4,5 juta rupiah. Ada selisih hingga 800 ribu rupiah per pekerja, dan total tenaga OS di Pemkot Surabaya mencapai 24.000 orang,” ungkap Wiwin.
Terhadap hal ini, MAPEKKAT berinisiatif meminta Walikota Surabaya Eri Cahyadi meninjau kembali keputusan yang menetapkan upah tenaga OS dengan merujuk pada Permenkeu No. 83 Tahun 2022 dan Perpres No. 98 Tahun 2020.
MAPEKKAT khawatir ada kesalahan dalam penerapan peraturan tersebut terkait sistem upah di lingkungan Pemkot Surabaya.
“Saya merasa semua tenaga OS yang dipekerjakan di tingkat kelurahan maupun kecamatan tidak diperlakukan secara komprehensif. Jadi, saya mengkhawatirkan adanya kesalahan dalam menerjemahkan Permenkeu atau Perpres yang sebenarnya tidak ada kaitan dengan PPPK,” tukasnya.
“Jika disebut OS atau outsourcing, anggota DPRD seharusnya mengetahui lembar perjanjian kerjanya. Namun, dalam hal ini, tidak ada yang mengetahui sama sekali bahkan keputusan penetapan tenaga OS bersifat sembarangan karena diduga ada titipan dari beberapa petinggi di wilayah kota Surabaya,”
sambungnya.
MAPEKKAT menilai perlu menggaungkan bahwa Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2020 tersebut diperuntukkan bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang menerima upah setara dengan pegawai PNS/ASN dengan segala tunjangannya.
Namun, kenyataan menunjukkan status tenaga OS saat ini berbeda. Walikota Surabaya dan Dinas Pendapatan Daerah Kota Surabaya jelas memberikan kebijakan yang berdampak pada perubahan upah tenaga OS.
Jika terbukti, ada dugaan penyalahgunaan jabatan dan wewenang karena kebijakan ini berujung pada pemotongan upah tenaga OS yang juga tidak memiliki perjanjian kerja sama sekali.
Selain itu, pegawai OS di lingkungan pemerintah kota ini diduga tidak mendapatkan jaminan sosial BPJS seperti pekerja swasta, sehingga status mereka tidak sesuai dengan PP No. 98 Tahun 2020.
Dalam waktu dekat, MAPEKKAT sebagai kontrol sosial akan menyampaikan kepada Walikota Surabaya bahwa Peraturan Kemenkeu dan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2020 bukanlah acuan hukum untuk memotong upah tenaga OS yang gajinya jauh di bawah kesetaraan PNS (PPPK).
“Seperti biasa, penyampaian ini akan kami lakukan dalam bentuk unjuk rasa yang rencananya akan digelar minggu depan. Kami berharap media cetak, elektronik, dan online di Surabaya dapat meliput aksi kami agar kabar ini tersebar secara nasional,” pungkas Wiwin.(Yul)