SURABAYA, HKS-News.com|
Sering menjadi perbincangan bahwa masyarakat Madura yang nampak ada di mana saja. Seperti halnya di wilayah Nusantara, mulai pulau Jawa, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan penjuru dunia seperti Arab Saudi, Turki, hingga Jepang. Menyoroti hal itu,
Antropolog Unair Dr Mohammad Adib Drs MSi mengatakan faktor ekonomi menjadi pendorong utama mengapa masyarakat suku Madura merantau ke mana-mana.
“Bermigrasi dilakukan oleh suku bangsa manapun, seperti contohnya masyarakat Minang yang mewajibkan laki-laki untuk merantau. Yang membedakan dengan suku Madura adalah mereka merantau karena mencari jalan hidup yang lebih sejahtera,” ungkapnya.
Dua Faktor Pendorong Merantau
Motivasi budaya merantau masyarakat suku Madura dengan suku Minang sangat berbeda. Masyarakat Minang menganut sistem matrilineal, adat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu (tidak punya hak warisan). Sehingga laki-laki ‘kurang berarti’ jika tidak merantau. Sementara itu, motif utama masyarakat Madura merantau adalah faktor ekonomi.
Seperti yang kita tahu, kata Dr Adib, Madura memiliki tanah yang tidak cocok atau tidak subur untuk menanam. Sehingga masyarakat Madura harus mengakali perekonomian mereka, yakni dengan cara merantau ke daerah lain.
“Faktor ekologi seperti tanah yang tidak subur itulah yang memaksa mereka untuk merantau mencari mata pencaharian di daerah lain,” ujar dosen etnografi Madura itu.
Selanjutnya, kuantitas atau jumlah masyarakat suku Madura yang cukup banyak tidak sesuai dengan luas pulau Madura itu sendiri. Ada sekitar 7 juta jiwa masyarakat Madura per 2010, pulau Madura tak menampung populasi sebanyak itu, sehingga masyarakatnya harus pergi dari pulaunya.
“Tak serta-merta suku Madura saja yang merantau karena wilayah tak mencukupi. Ini juga berlaku bagi semua suku yang kuantitasnya banyak,” terangnya.
Bekerja di Sektor Informal
Mayoritas masyarakat suku Madura yang merantau ke daerah lain cenderung memilih sektor ekonomi informal dalam meraih kesejahteraan. Hal itu terjadi karena permasalahan tingkat pendidikan. Masyarakat Madura, imbuh Dr Adib, tidak memiliki tingkat pendidikan yang begitu tinggi.
“Pendidikan masyarakat Madura itu terbatas, maka pekerjaan apa saja mereka lakukan. Terutama pekerjaan fisik seperti buruh pabrik. Yang juga ada demand-nya,” imbuhnya.
“Sejarahnya pada zaman Belanda, mereka (Madura, Red) direkrut untuk kerja di pabrik gula,” tambahnya.
Dr Adib juga turut berpesan kepada masyarakat suku Madura untuk meningkatkan keterampilannya agar tidak hanya bekerja sebagai pekerja fisik. Mengingat, ada lumayan banyak fasilitas yang telah disediakan negara.
“Maka, tingkatkan pendidikan karena sudah difasilitasi negara. Menyiapkan pendidikan di masa depan. Utamakan pendidikan, membongkar kultur informal. Merantaulah dengan skill, tidak hanya sebagai tenaga kasar,” pungkasnya.(Yul)