SURABAYA, HKS-News.com|
Limbah plastik merupakan salah satu isu lingkungan terbesar di dunia. Menurut data Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), limbah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton setiap tahunnya. Mirisnya, sekitar 3,2 juta ton limbah tersebut dibuang ke laut.
Di Indonesia, PT Chandra Asri Pasific Tbk, perusahaan solusi kimia dan infrastruktur terdepan, mengambil langkah nyata untuk mengatasinya melalui program ekonomi sirkular Aspal Plastik.
Program tersebut memanfaatkan limbah plastik sebagai campuran pembuatan aspal. Hingga saat ini, Chandra Asri telah membangun lebih dari 100 kilometer jalanan dengan aspal plastik, memanfaatkan lebih dari 1.000 ton limbah plastik.
Menanggapi hal tersebut, Tahta Amrillah SSi MSc PhD, dosen Rekayasa Nanoteknologi Unair, menjelaskan bahwa penggunaan limbah plastik dalam campuran aspal tergolong efektif. Limbah plastik dengan kuantitas yang sangat banyak akan lebih bermanfaat daripada hanya terbuang sia-sia.
“Dalam nanoteknologi, kini beberapa plastik telah mengalami modifikasi dengan menggunakan bahan yang mudah terdegradasi, seperti selulosa. Prinsip rekayasa material memungkinkan ekstraksi selulosa ini dari berbagai sumber alami seperti singkong, bahkan limbah bonggol jagung,” jelas Tahta.
Rekayasa untuk Optimalisasi
Aspal dengan campuran limbah plastik memiliki karakteristik dan ketahanan yang berbeda dengan aspal konvensional. Meskipun kandungan aspal dan plastik hampir serupa, lebih dari 80 persen karbon, namun perbedaan dalam ikatan kimia keduanya menyebabkan perbedaan dalam sifatnya.
“Perlu adanya rekayasa material yang cukup baik, sehingga plastik dapat berguna dalam pembuatan aspal. Bahkan, plastik dapat memiliki sifat yang lebih baik seperti tahan panas dengan titik leleh tinggi, dapat menyerap air, dan sifat daktilitas yang tinggi,” terangnya.
Penggunaan limbah plastik dalam pembuatan aspal menawarkan potensi pengurangan biaya bahan dasar yang signifikan. Tetapi, proses fabrikasi limbah plastik dapat menimbulkan biaya tambahan yang tidak kecil. Maka, perlu adanya pendekatan fabrikasi yang sederhana dan ekonomis.
Aspal yang menggunakan limbah plastik memiliki keunggulan dalam meningkatkan elastisitas dan daktilitas. Hal tersebut disebabkan oleh polimer karbon dalam limbah plastik yang memiliki ikatan polimer yang lebih panjang daripada aspal biasa.
Perlakuan Khusus Plastik
Tahta menyoroti risiko yang mungkin timbul dalam proses fabrikasi yang kompleks. Untuk mengatasi hal tersebut, butuh perlakuan ekstra supaya memastikan bahwa plastik menjadi kompatibel sebagai campuran aspal.
“Jika campuran aspal tidak tepat, misalkan komposisi yang salah atau fabrikasi yang salah, maka kualitas aspalnya juga akan jelek. Implikasinya, memang butuh treatment khusus. Pada akhirnya akan meningkatkan biaya fabrikasi,” tuturnya.
Menurut Tahta, dari segi infrastruktur dan teknologi, Indonesia telah siap memanfaatkan limbah plastik dalam pembuatan aspal karena teknologi yang dibutuhkan tidak terlalu advance.
Ia berharap, penggunaan limbah plastik sebagai campuran aspal dapat mengurangi limbah plastik yang telah berubah menjadi mikroplastik yang mengancam ekosistem perairan, seperti laut.(Yul)