SURABAYA, HKS-News.com|
Di tengah arus modernisasi yang mengalir cepat, dilema antara kemajuan infrastruktur dan pelestarian identitas budaya masyarakat adat menjadi topik yang tak kunjung padam.
Desakan otorita IKN kepada masyarakat adat untuk pindah menuai kritik dari berbagai pihak. Termasuk, Prof Dr Musta’in Drs MSi selaku Pakar Sosiologi Pembangunan Universitas Airlangga (Unair).
Prof Mustain menyatakan, keprihatinannya atas ketidakmampuan otoritas untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat. Menurutnya, setidaknya terdapat 16 organisasi dalam koalisi masyarakat sipil yang menolak untuk pindah.
“Penolakan yang kuat dari masyarakat adat dan koalisi sipil menunjukkan bahwa proses pemindahan belum mencapai titik temu yang solutif. Pemindahan yang berhasil adalah pemindahan yang tidak menimbulkan konflik atau penolakan,” ujar Prof Musta’in.
“Ada salah satu suku di kalimantan itu, namanya suku Balik. Mereka merasa keberadaannya tidak diakui. Padahal pengakuan ini penting karena akan membawa perhatian dan pertimbangan terhadap eksistensi mereka,” imbuhnya.
Ia juga menekankan bahwa dialog, komitmen, dan simpati dari pihak IKN terhadap masyarakat lokal belum terwujud. Menurutnya, dialog yang berhasil adalah dilakukan terbuka dengan memandang masyarakat adat sebagai mitra yang setara, bukan rakyat atau bawahan.
“Masyarakat adat merasa ditinggalkan, dianggap sebagai orang lain, dan ini adalah kesalahan yang harus segera diperbaiki. Seharusnya, otoritas dapat menunjukkan pengakuan melalui sapaan psikologis, sosiologis, dan budaya, agar mereka tidak merasa diabaikan,” tegas Prof Musta’in.
Prof Musta’in menyoroti bahwa suku Balik di Sepaku masih berjuang untuk hak-hak mereka.
“Mereka belum menerima sepenuhnya dan belum mendukung sepenuhnya rencana IKN karena merasa belum diperhatikan. Partisipasi masyarakat lokal dalam proses pembangunan IKN sangat penting,” tukasnya.
“Namun, ada sebagian warga yang mau tidak mau harus mendukung IKN dan meminta nasib mereka juga diperhatikan. Mereka harus merasa terlibat dan dihargai, bukan diperlakukan sebagai orang luar di tanah mereka sendiri,” imbuh Prof Mustain.
Dualisme Antar Masyarakat Adat dan Pemerintah
Prof Musta’in menyoroti dualisme yang muncul dari perbedaan pandangan antara masyarakat adat dan pemerintah. Dalam hal ini, Ia menekankan perbedaan antara klaim kepemilikan tanah yang seringkali tidak selaras.
“Masyarakat adat menganggap tanah sebagai warisan turun-temurun, sementara pemerintah melihatnya sebagai tanah negara. Tanpa bukti kepemilikan formal, masyarakat adat berisiko kehilangan hak atas tanah yang telah mereka kelola selama turun temurun. Sedangkan, kepemilikan tanah adat didasarkan pada tradisi dan adat, bukan sertifikat,” jelasnya.
“Jika negara menggunakan klaim keabsahan kepemilikan dan penggunaan lahan berdasar hukum yang dibuktikan dengan sertifikat, sementara rakyat tidak mempunyainya. Dikhawatirkan, posisi rakyat sangat lemah ini akan menjadi korban,” sambung Pakar Sosiologi Unair itu.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya dialog yang memadukan hukum adat dan negara untuk memperbesar konflik.
“Pendekatan yang menghormati kedua sistem hukum dan mengakui hak-hak masyarakat adat adalah kunci untuk menyelesaikan situasi ini secara damai,” tandasnya.
Solusi Bersifat Inklusif
Dalam hal ini, Prof Musta’in menawarkan pandangan mendalam tentang penyelesaian konflik yang adil dan etis antara masyarakat adat dan pemerintah.
“Untuk mencapai solusi yang efektif, partisipasi masyarakat adat dalam proses pembukaan dan pemeliharaan lahan harus diakui dan dihargai. Mereka harus merasakan manfaat langsung, baik secara psikologis maupun ekonomi dari perubahan yang terjadi,” katanya .
“Filosofi pembangunan harus selalu mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak boleh merugikan mereka, Khususnya di Kalimantan Timur. Yang mana, tanah adat menjadi pusat kehidupan tujuh suku adat. Solusinya, pemerintah harus mengakomodasi hak-hak mereka sepenuhnya,” sebut Prof Musta’in.
Ia menyarankan bahwa solusi harus mencakup dialog antara hukum adat dan hukum negara.
“Kita harus mencari jalan tengah di mana kebutuhan lokal diakomodasi melalui diskusi dan negosiasi yang transparan. Dengan cara ini, kita dapat mencapai solusi yang etis dan adil bagi semua pihak,” paparnya.
Di akhir wawancara, Prof Musta’in menekankan kunci untuk pembangunan yang berkelanjutan dan harmonis, yaitu pembangunan yang bersifat inklusif dan partisipatif. Dengan begitu, hal ini dapat memastikan masyarakat adat tidak merasa dirugikan.
“Yang terpenting adalah melakukan diskusi dengan masyarakat adat bagaimana sebaiknya agar mereka tidak merasa dirugikan. Tapi rupanya itu belum kelihatan. Walaupun otorita telah berupaya negoisasi, tetapi hal ini belum menyentuh akar permasalahan yang lebih substantif, mengenai eksistensi dan pemberdayaan,” tutupnya.(Yul)