SURABAYA, HKS-News.com|

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menargetkan Indonesia bebas HIV-AIDS pada 2030 mendatang. Akan tetapi, realitanya kasus infeksi HIV-AIDS di Indonesia masih terus bertambah di setiap tahunnya. Kondisi ini memantik berbagai pihak untuk melakukan upaya pengendalian. Peneliti Universitas Airlangga (Unair) salah satunya. 

Dr Siti Qamariyah Khairunisa, SSi MSi, Peneliti Institute of Tropical Disease (ITD) Unair ini baru saja menelurkan hasil penelitian tentang karakteristik evolusi dan pola transmisi HIV strain CRF01_AE di Indonesia. CRF01_AE merupakan strain yang mendominasi di Indonesia. Hasil penelitian itu ia sampaikan pada sidang promosi doktor Fakultas Kedokteran (FK) Unair pada Senin (26/2/2024).

Kondisi HIV-AIDS

Ria, sapaan akrabnya, memaparkan bahwa penelitiannya itu berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi HIV-AIDS di Indonesia. Sejak masuk pada sekitar tahun 1980-an, infeksi HIV-AIDS di dunia maupun di Indonesia terus bertambah. 

“Virus HIV ini memang masih menjadi permasalahan serius, ya. Berdasarkan data memang angka infeksi baru terus bertambah,” ujarnya, Minggu (3/4/2024).

Di sisi lain, pengendalian HIV melalui akses terapi atau antiretroviral (ARV) di Indonesia masih terbilang minim, hanya mencapai 28 persen. Sementara, organisasi kesehatan dunia (WHO) menargetkan akses ARV sebesar 95 persen. 

“Kondisi tersebut membuat kami prihatin, ya, sehingga sejak awal kami melakukan penelitian  ini. Selain itu, penelitian ini juga penting untuk melakukan monitor adanya mutasi yang berhubungan dengan resistensi ARV sehingga keberhasilan pemberian obat bisa diketahui juga lebih dini,” tambah Ria.

Temukan Pola Transmisi

Lebih lanjut, Ria memaparkan bahwa penelitiannya ini berfokus pada karakterisasi evolusi dan transmisi spasial-temporal HIV CRF01_AE sebagai strain yang paling banyak di Indonesia. Penelitian ini menerapkan pendekatan analisis melalui sekuens nearly full-genome dan geographic information system (GIS). 

Pada analisis sekuens nearly full-genome, tahapan bermula dari pengambilan sampel darah dan analisis variasi genomik untuk mengetahui ada tidaknya mutasi. Melalui analisis ini pula, Ria menemukan pola dan jalur transmisi HIV strain CRF01_AE yang masuk ke Indonesia. 

“Melalui analisis ini kami menemukan bahwa transmisi HIV di Indonesia ini ada empat jalur yang melibatkan negara-negara di Asia, seperti Thailand, Vietnam, Laos, Cina,” tutur Ria.

Sementara itu, pendekatan melalui GIS, Ria melakukan analisis transmisi HIV yang berfokus di Surabaya. Hasilnya, ia menemukan bahwa kawasan dengan penyebaran HIV tertinggi yang sebagai titik hot spots yang menjadi episentrum penyebaran HIV di Surabaya.

”Setelah kita lihat secara geografis memang di wilayah tersebut ada banyak hotel, bar, dan tempat-tempat yang berpotensi menjadi penyebaran HIV,” ungkapnya.

Luaran Penelitian

Penelitian ini, kata Ria, dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini bisa menjadi referensi bagi para akademisi maupun masyarakat luas tentang pola transmisi HIV. Untuk itu, ia dan pihaknya juga telah mengemas informasi data-data strain HIV dalam sebuah dashboard bernama INDAGI. 

“Harapannya ini bisa menjadi informasi bagi masyarakat luas tentang bagaimana pola penyebaran strain, evolusi mutasi HIV secara realtime sehingga upaya pencegahan bisa lebih cepat,” bebernya.

Selain dashboard, bersama pihaknya, Ria juga telah menyusun policy brief sebagai luaran penelitian. Harapannya, policy brief tentang peran pemeriksaan resistensi antiretroviral dalam upaya pengendalian HIV itu bisa menjadi sumbangsih UNAIR untuk dunia kesehatan Indonesia. 

“Kami harap policy brief kami tentang peran pemeriksaan resistensi antiretroviral untuk pengendalian HIV bisa kami kirimkan ke Kemenkes tahun ini sebagai sumbangsih Unair,” pungkasnya.(Yul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *