SURABAYA, HKS-News.com|
Pada tahun politik 2024 terdapat beberapa fenomena baru yang menjadi pembeda dengan tahun-tahun politik sebelumnya. Salah satu fenomena tersebut adalah ‘Politainment’ atau gabungan kata dari ‘Politics’ dan ‘Entertainment’, di mana tokoh politik berlomba mendapatkan atensi untuk dianggap relevan dan dekat dengan masyarakat melalui pemberitaan media yang sifatnya menghibur.
Dalam buku The international encyclopedia of communication (2008), Politainment memanfaatkan potensi media massa untuk menarik khalayak luas dan menciptakan figur yang disenangi oleh masyarakat. Hal tersebut kemudian sejalan dengan hasil riset oleh Kompas.id yang menyimpulkan bahwa, sebagian besar pemilih pada ajang pemilihan umum di Indonesia adalah pemilih emosional yang menentukan pilihan calon pemimpinnya berdasarkan kesukaan semata.
Guru Besar Departemen Komunikasi, Prof Dra Rachmah Ida M Com PhD menyampaikan tanggapannya terkait fenomena ‘Politainment’ dalam tahun politik 2024.
“Seperti yang kita ketahui, konsep ‘Politainment’ ini merupakan hal baru di Indonesia. Selama ini dalam dunia politik kita belum pernah melihat hal yang seperti ini,” papar Prof Ida.
Politik atau Entertainment?
Prof Ida kemudian mengungkapkan kecenderungan dari Politaiment di Indonesia masih masuk pada pembahasan politik ketimbang hiburan. Seperti contohnya, saat berita politik yang bersifat menghibur masuk ke media sosial, sejatinya hal tersebut masih termasuk pada berita politik, hanya saja pengemasannya dalam bentuk hiburan.
“Selama ini politik dianggap sebagai pembahasan yang keras atau berat, sehingga hanya kelompok tertentu saja yang bisa menikmatinya. Sedangkan, dengan adanya ‘Politainment’ ini, politik terkemas menjadi sebuah bahasan ringan yang bisa dinikmati oleh lebih banyak golongan.” jelas Prof Ida.
Lebih lanjut, Prof Ida menuturkan bahwa dengan adanya fenomena ‘Politainment’ masyarakat menjadi lebih terbuka dengan informasi terkait politik. Selain itu, ‘Politainment’ bisa membuat masyarakat awam mendapatkan wawasan dari informasi baru.
Demitologi Politik
Selanjutnya, ketika membahas dampak kemunculan berita ‘Politainment’ terhadap citra tokoh politik, Prof Ida menjawab bahwa seringkali image dari tokoh tersebut menjadi negatif.
“Contohnya ketika ada video di media sosial yang memunculkan sisi komedi dari perbedaan pernyataan presiden 5 tahun lalu dengan sekarang, maka akan terbentuknya citra negatif bahwa presiden bersikap tidak konsisten,” ulas Prof Ida.
Prof Ida juga mengungkapkan bahwa dengan adanya ‘Politainment’ memunculkan demitologi, di mana masyarakat mulai menganggap bahwa tokoh politik bukanlah sosok yang sakral. Kini, masyarakat bisa memandang tokoh politik sebagai manusia biasa yang bisa dikulik atau dicari letak kesalahannya.
“Selama tidak ada kontrol atau regulasi terkait Politainment maka fenomena ini akan terus berlanjut. Namun, yang terpenting adalah jika ini terus berlanjut, sebetulnya tidak baik juga karena memunculkan demokrasi yang tidak sehat. Bisa jadi di masa depan tidak ada lagi yang berani mengkritik tokoh secara langsung,” pungkas Prof Ida.(Yul)