SURABAYA, HKS-News.com|
Sudah 14 tahun lamanya RUU masyarakat adat tak kunjung dilegalkan, pakar Antropologi Hukum Unair Dr Sri Endah Kinasih S Sos M Si berpendapat bahwa hal itu menjadi akibat dari tidak dianggap pentingnya isu masyarakat adat.
“Masyarakat adat dianggap kuno. Padahal, masyarakat adat punya nilai-nilai religio magis yang mereka pertahankan. Itu yang tidak dipahami oleh pemerintah,” ucapnya, Kamis (25/1/2024).
RUU Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat merupakan rancangan undang-undang yang telah diusung sejak 2003, dan dirumuskan naskah akademiknya pada 2010. Sengketa-sengketa yang terjadi selama ini pun akibat dari tidak disahkannya RUU tersebut.
Akar Permasalahan
Negara dianggap belum memahami konsep-konsep di masyarakat adat itu seperti apa, menurut Dr Endah, perlu ada keterlibatan tokoh-tokoh adat dan agama dalam pelegalan RUU.
“RUU ini menjadi jalan satu-satunya negara untuk memahami masyarakat adat. RUU tidak jalan karena ya tokoh adat, agama, ahli tidak dilibatkan,” tambahnya.
Kepentingan negara seolah-olah menggusur kepentingan masyarakat adat. Seharusnya pembangunan dilakukan dengan proses dialog ke bawah (masyarakat adat). Tidak hanya berlandaskan kepentingan negara.
“Makanya, ketika membangun harus ada dialog. Tokoh agama, tokoh adat, ahli itu harus diajak. Contohnya di masyarakat Maluku itu, ada konsep sasi atau larangan panen sebelum waktunya. Nah, ini kan merupakan tradisi mereka dalam melindungi ekosistem mereka,” sambungnya.
“Konsep seperti ini yang harus dimengerti oleh pemerintah, tidak hanya bangun sini, bangun sana, ganti rugi sini, ganti rugi sana. Tidak seperti itu,” lanjutnya.
Ancaman Punahnya Etnik
Pembangunan IKN (Ibu Kota Nusantara), menurut pakar antropologi hukum itu akan mengakibatkan 21 etnik (suku bangsa) bisa punah. Hal itu dapat terjadi karena kembali lagi belum dilibatkannya masyarakat adat serta belum mengertinya negara dengan konsep-konsep yang ada dalam masyarakat.
“Sebanyak 21 etnik lho, dan ketika punah, bukan hanya etnik, tapi juga flora dan fauna akan hilang. Karena, orang-orang jaman dulu kan harus memperhatikan ekologi, kalau etnik-etnik tersebut punah, maka tradisi berlandaskan ekologis pun akan hilang,” ungkapnya.
Negara harusnya melindungi dan mempertahankan masyarakat adat. Karena, Indonesia sendiri semakin waktu berjalan, semakin berkurang masyarakat adatnya. Tidak semua hal itu untuk pembangunan negara, ada kearifan lokal yang perlu dijaga.
Contoh lainnya adalah masyarakat yang tinggal di hutan tidak memiliki KTP (kartu tanda penduduk), padahal mereka sudah tinggal di hutan tersebut jauh sebelum Indonesia ‘ada’ atau merdeka.
“Mereka kan lahir sebelum itu. Tanah itu kan sudah dimiliki oleh mereka. Masyarakat adat dianggap belum memiliki hak berupa sertifikat tanah. Dianggap bukan hak mereka. Padahal ketika membangun rumah atau sumur, mereka selalu mencantumkan tanggal pembuatan. Itu kan bukti yang otentik, melebihi sertifikat negara,” tutupnya.(Yul)