SURABAYA, HKS-News.com|
Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Nisful Laila SE Mcomm baru saja menerima sidang pengukuhannya. Dalam gelaran itu, ia menyampaikan orasinya yang berjudul Sukuk Negara sebagai Model Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Prof Nisful menyoroti kompleksitas permasalahan pembangunan yang ada di Indonesia. Ia menyayangkan fakta bahwa permasalahan-permasalahan itu merujuk pada isu krusial, seperti kemiskinan, pendidikan, ketimpangan, hingga tingkat pengeluaran negara.
Untuk mengatasi semua permasalahan itu, tentu negara memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Pendapatan tersebut berasal dari pendapatan negara dan pembiayaan yang masih melibatkan utang yang sangat besar.
Risiko Utang Negara
Utang tentu saja membawa dampak yang berisiko bagi negara yang berhutang. Prof Nisful merinci risiko itu menjadi tiga, yakni risiko perubahan nilai kurs, peningkatan beban pemerintah, hingga risiko kedaulatan.
“Dalam hal ini, kedaulatan pemerintah bisa mengalami ancaman karena pihak kreditur seringkali memaksakan klausul-klausul yang melemahkan posisi negara dalam perjanjian utang-piutang tersebut,” jelasnya.
Dalam kacamata ekonomi syariah, utang tersebut juga menjadi salah satu bentuk riba mengingat keberadaan bunga utang. Dengan demikian, Prof Nisful merekomendasikan satu model pembiayaan yang lebih aman secara risiko dan syariat dengan sukuk.
Model Sukuk
Negara tentu membutuhkan pembiayaan pembangunan, tetapi di sisi lain islam telah melarang tegas praktik riba. Maka dari itu, Prof Nisful menyatakan bahwa sukuk menjadi salah satu alternatif potensial untuk menekan utang.
“Sukuk adalah sertifikat yang merepresentasikan kepemilikan atas aset atau proyek investasi dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah,” ungkapnya.
Perbedaan utama antara sukuk dan utang terletak pada bentuk akadnya. Dalam sukuk, bentuk akad kedua belah pihak adalah adalah kerjasama dengan berbagi risiko maupun keuntungannya.
“Bentuk akad yang berbasis re-sharing serta perpindahan struktur kepemilikan atas aset atau proyek yang jelas menjadi pembeda utama antara sukuk dan utang,” lanjutnya.
Hingga saat ini, di Indonesia sendiri sudah terdapat delapan jenis sukuk dengan manfaat dan tujuannya masing-masing. Menurut Prof Nisful, mendorong potensi sukuk Indonesia akan bermanfaat pada pembiayaan dan menyelesaikan permasalahan tapi tetap berpegang pada syariat.
“Apabila instrumen sukuk yang bebas riba lebih berkeadilan karena berbasis re-sharing lebih banyak digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan negara, maka masalah-masalah besar tersebut bisa teratasi,” ujarnya.
“Terakhir, dengan memanfaatkan sukuk, kita berharap Allah SWT memberikan rahmatnya dan melindungi negara Indonesia dari bahaya penggunaan sumber utang berbasis riba. Harapannya, Indonesia bisa menjadi negara yang baldatun, warabbun ghafur. Amin,” pungkas Prof Nisful.(Yul)