SURABAYA, hks-news.com| Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Alhasil tubuh kekurangan kemampuannya dalam melawan infeksi serta penyakit. Penyakit ini masih eksis sampai saat ini. Tapi bukan berarti HIV tidak bisa dikendalikan.
Fenomena Gunung Es
Menurut Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) yaitu Dr Arief Hargono drg MKes, kasus HIV di Indonesia bagaikan fenomena gunung es.
“Dengan adanya stigma menyebabkan masyarakat takut untuk memeriksakan status HIV. Hal ini menyebabkan penemuan kasus HIV sangat sulit,” katanya.
Perlu ada kerja sama dengan lintas sektor dalam menemukan kasus HIV di masyarakat. Salah satunya adalah kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
“Mereka (LSM, red) mempunyai jejaring, bisa melakukan pendampingan dan penemuan bagi mereka yang berisiko tinggi terpapar HIV,” tuturnya.
Peran Keluarga
Keluarga ternyata berperan penting dalam pengendalian kasus HIV. Keluarga diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai HIV. Pengetahuan ini yang akan menurunkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV.
“Kasus HIV memang berpotensi terjadi pada kelompok risiko tinggi tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada kelompok risiko rendah,” terangnya.
Dr Arief menambahkan bahwa pemahaman yang dimiliki oleh keluarga dapat menciptakan suasana yang baik bagi penderita HIV. Keluarga akan bisa mengayomi dan memberikan dukungan emosional agar penderita HIV agar mau berobat serta memeriksakan diri secara teratur.
Peran Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan turut berperan aktif dalam proses pengawasan sebagai upaya mengendalikan dan mencegah terjadinya HIV.
“Tenaga kesehatan itu melakukan pemantauan secara rutin pada kelompok risiko tinggi,” paparnya.
Penyediaan layanan konseling terpadu turut menjadi tugas tenaga kesehatan dalam hal ini. Ada berbagai konseling layanan yang sudah berjalan seperti konseling pencegahan HIV dari ibu ke anak, layanan tes dan konseling HIV terintegrasi (PITC), hingga konseling sukarela yang dilakukan masyarakat (VCT).
“Program yang ada seperti diagnostik dan pengujian HIV serta pengobatan menggunakan ARV sudah ada di pelayanan kesehatan. Bagi penderita diharapkan berkoordinasi dengan layanan kesehatan setempat untuk mendapat layanan ini,” jelas Dr Arief.
Peran Pemerintah
Sementara pemerintah diharapkan terus mengembangkan kebijakan serta strategi dalam menanggulangi fenomena ini. Dr Arief mengungkapkan strategi dapat berfokus pada pencegahan, pengobatan, perawatan, hingga dukungan masyarakat terhadap individu penderita HIV.
“Pentingnya peningkatan akses perawatan, ketersediaan pengobatan, perluasan akses perawatan, dan menyediakan informasi yang benar tentang HIV perlu dilakukan,” ungkapnya.
Program ABCD
Ada beberapa program ABCD yang dapat menjadi cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya HIV. Ialah Abstinence, tidak melakukan hubungan seks sebelum waktunya. Be faithful, jujurlah kepada pasangan masing-masing atas apa yang terjadi. Condom, menggunakan kondom. Drugs No, tidak mengkonsumsi obat-obatan berbahaya. Dengan menerapkan hal tersebut secara maksimal dengan didukung komunikasi risiko, promosi kesehatan, dan media yang tepat dapat menjadi strategi menurunkan jumlah penderita HIV.
HIV dapat menimbulkan dampak lain seperti masalah budaya hingga masalah sosial. Diperlukan strategi yang komprehensif dalam menghadapi fenomena ini.
“Sektor swasta juga berperan, pemerintah, akademisi dalam melakukan penelitian serta pengembangan inovasi, media massa dalam memberikan info yang akurat, sampai masyarakat dan keluarga dalam mengurangi stigma dan diskriminasi. Dengan penggunaan konsep multi helix ini diharapkan pengendalian HIV bisa berjalan optimal,” pungkasnya. (Yul)