Kebebasan tidak pernah diberikan secara sukarela oleh penindas; itu harus dituntut oleh yang tertindas.” ( Martin Luther King, Jr. )
Sepertinya quote yang diberikan oleh Martin Luther King, Jr ini cocok menggambarkan situasi politik yang terjadi saat ini.
Praktik politik yang membusukkan demokrasi tak lagi malu dipertontonkan, presiden yang seharusnya menjadi guru bangsa dan negarawan, kini benar benar telah menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan dengan jalan mengangkangi instrumen instrumen pertahanan kekuasaan.
Selama 25 tahun pasca reformasi, dimana salah satu amanahnya adalah penegakan demokrasi dan pelaksanaan pemerintahan yang baik dan bersih, hanya di zaman Jokowi yang terlihat berbeda, Jokowi tak hanya mengingkari amanah reformasi tapi juga menghidupkan kembali watak orde baru dan orde lama dalam praktik kepemimpinannya.
Jokowi seperti dimabuk oleh kekuasaan dan takut kehilangan, sehingga terlihat sangat sibuk sekali menghadirkan isu isu yang anti demokrasi, isu perpanjangan jabatan, penundaan pemilu dan Jokowi tiga periode dengan berbagai alasan dan argumen. Bahkan yang terakhir, beliau sibuk sekali mengendorse capres tertentu dan mengatur jalannya persekongkolan yang dikemas dengan nama koalisi, tujuannya hanya satu kekuasaan yang dia genggam tidak berpindah kepada orang lain, terutama kepada Anies Baswedan.
Mengapa Jokowi berlaku demikian? Tentu hanya Tuhan dan Jokowi yang tahu jawabannya. Namun kita bisa urai mengapa Jokowi melakukannya, padahal sebagai presiden dan kepala negara, Jokowi punya tugas besar menuntaskan janji janji politiknya yang belum terlaksanakan.
Untuk urusan janji yang belum terlaksanakan, masyarakat kita adalah masyarakat yang sabar dan pemaaf, buktinya meski banyak janji yang belum ter tuntaskan, Jokowi bisa terpilih kembali diperiode kedua, nah nampaknya ini yang akan diulang lagi oleh Jokowi, merasa tidak semua janji diperiode kedua bisa terpenuhi, maka Jokowi tiga periode dan perpanjangan masa jabatan menjadi pilihan.
Namun sayangnya, keinginan Jokowi justru mendapatkan banyak penentangan termasuk ditentang oleh PDIP. Jokowi mati kutu dan kehilangan daya kekuatan untuk melanjutkan isu tersebut, sebagai gantinya dia endorse capres capres yang bisa menjadi kepanjangan tangan untuk melanjutkan misi kekuasaannya.
Surya Paloh menangkap gejala tidak baik itu. Sebagai orang yang sudah kenyang dengan asam garam politik dan jatuh bangun menghadapi rezim dan tekanan, melalui semangat restorasi dan Partai Nasdem, SP berusaha mengingatkan Jokowi dalam menjalankan kepemimpinannya.
SP merasakan ada aroma yang salah dalam periode kedua kepemimpinan Jokowi, kehilangan keberpihakan kepada rakyat dan hilangnya rasa keadilan. Pilihan SP tidak boleh diam, dia harus angkat bicara dan menyuarakan kembali gaung restorasi yang terbungkam selama periode kedua kepemimpinan Jokowi.
Perubahan dan keberlanjutan menjadikan Indonesia lebih baik lagi adalah pilihan perjuangan politiknya. Rekam jejak Anies selama memimpin Jakarta, menjadi daya tarik tersendiri baginya. Melalui rapat kerja nasional Partai Nasdem, SP tak ragu menegaskan Anies sebagai capres yang dia usung. Pilihan inilah yang membuat Jokowi geram dan berusaha menekan dan membungkam SP.
Sikap dan reaksi SP selama ini memang masih terasa datar dan menjaga perasaan Jokowi. Meski Partai Nasdem diperlakukan dengan semena mena dan tidak baik, SP selalu mengatakan bahwa loyalitas NasDem terhadap pemerintahan Jokowi tak akan berubah sampai berakhirnya pemerintahan ini. Sikap datar dan santun menjaga perasaan koalisi pemerintahan, nampaknya dibenak Jokowi diartikan lain, diartikan sebagai kelemahan dan ketergantungan NasDem kepada kekuasaan, sehingga tekanan terhadap Partai NasDem dan SP semakin keras dengan harapan NasDem dan SP berubah sikap dan meninggalkan Anies dan Koalisi Perubahan.
Puncaknya adalah penetapan Johni G Plate, Menkominfo sekaligus sebagai Sekjend Partai NasDem. SP sangat terpukul dan sedih atas peristiwa ini, terucap kata kata terlalu mahal untuk Johni G Plate diborgol, bahkan beliau tegar mengatakan mendukung usaha pemberantasan korupsi dan tidak boleh tebang pilih. Sebuah sikap perlawanan kepada perilaku kekuasaan dan berpihak pada substansi amanah reformasi yang harus diemban oleh pemerintahan.
Kegusaran dan kekecewaan SP tak bisa ditutupi akibat perlakuan Jokowi terhadap dirinya dan partai NasDem serta anggotanya, SP tak bisa membayangkan bagaimana perlakuan Jokowi akan dilakukan kepada orang lain yang berbeda pilihan dan prinsip perjuangan, terhadap dirinya dan sekjend partainya saja seperti ini.
SP merasakan diam dalam situasi ini akan menjadi pengkhianatan bagi kebenaran yang diyakini dan pilihan perjuangan bersama partainya, pilihan bersuara dan melawan tak bisa dielakkan.
SP mulai lantang bersuara, melalui Anies Baswedan setelah pertemuannya, SP mengatakan tak akan ada yang berubah dan bergeser. Sebuah sikap perlawanan dan lantang menunjukkan harga diri dan partainya. Bagi SP pantang surut kebelakang ketika layar sudah dikembangkan.
Sikap SP yang tegak lurus dan lantang, bukan tidak mungkin akan menjadikan hari hari Jokowi semakin gelisah dan ketakutan, bagaimanapun SP adalah orang pernah membesarkan Jokowi dan 10 tahun bersamanya mengawal pemerintahan, tentu sangat banyak tahu hal hal yang menyangkut perilaku dan kekuasaan yang dijalankan.
Penulis meyakini diusianya yang semakin senja, sebagai orang yang berdarah Aceh yang banyak melahirkan pahlawan nasional yang melawan penindasan dan penjajahan, SP tahu kapan saatnya diam dan kapan saatnya bersuara. Bagi SP, diam dalam situasi saat ini akan dianggap sebagai pengkhianatan.
Kalau 1998 Amien Rais mendapat julukan sebagai lokomotif reformasi, maka 25 tahun paskca reformasi, SP bisa jadi akan mendapat julukan lokomotif perubahan bersama Anies Baswedan.
Surabaya, 20 Mei 2023
Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi