SURABAYA, hks-news.com|
dr Amira Abdat SpOG alumnus FK Unair 2020 kini mengabdikan diri menjadi satu-satunya dokter spesialis kandungan di Fakfak, Papua Barat. Ia juga kerap membagikan konten edukasi kesehatan reproduksi dan ibu hamil di sosial media.
Jejak Studi Amira
Pemilik akun instagram @amira.abdat19 mendapat beasiswa dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada 2015 silam untuk melanjutkan pendidikan spesialisnya di Unair. Ia menuntaskan studi S1 kedokteran di Universitas Trisakti 2012 silam. Kemudian 2013 hingga 2015 menjadi dokter umum, mendapat penempatan di puskesmas pelosok FakFak.
“Saya mengamati dokter spesialis kandungan di sana tidak ada yang menetap sehingga ada dan tiada. Dengan segala urgensi yang ada, saya belum cukup ilmu untuk menggantikannya, sehingga saya melanjutkan spesialis di Unair dari 2015 hingga 2020. Selepas pendidikan hingga hari ini saya kembali mengabdikan diri di Fakfak Papua,” jelasnya.
Urgensi yang Mendorongnya Kembali ke Papua
Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi (Obgyn) itu melaporkan terdapat 95 ribu jumlah penduduk di fakfak dan 50 persennya adalah perempuan. Dengan kondisi sulitnya akses pemeriksaan kehamilan, banyaknya kekerasan seksual, hingga meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
“Kehadiran kami, selain pengobatan, juga penyuluhan terkait seks pra-nikah. Sebab dari fenomena yang ada, kebanyakan saat hamil anak ketiga, sang ibu baru dinikahi suami. Itu pun secara siri dan sudah dinormalisasi. Terlepas dari minimnya hiburan, mereka melakukan hubungan seksual tanpa dibekali pengetahuan,” paparnya.
Kondisi itu diperparah dengan penolakan penduduk terhadap dokter maupun tenaga medis. Sebab, kebiasaan penduduk yang lebih tertarik ke dukun daripada tempat pelayanan kesehatan. Tak mengherankan, lantaran jarak tempuh dari kampung ke kota menghabiskan waktu berjam-jam. Banyak pula penduduk yang belum memiliki kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
“Jangankan BPJS, akta kelahiran, kartu keluarga dan berkas administratif lainnya. Mereka cenderung belum memiliki,” kata alumnus Unair itu.
Selanjutnya, mengenai kondisi fasilitas kesehatan di Papua Barat, dokter asal Bogor ini memaparkan RSUD Fakfak bertipe C dengan alat kesehatan sesuai standar akreditasi dan memiliki empat dokter dasar. Antara lain dokter bedah, penyakit dalam, kandungan, dan anak. Bagi Amira, meski fasilitas belum sempurna tapi terbilang cukup lengkap.
Tantangan
Kondisi itu perlahan berubah dengan kehadiran Gerakan Jemput Bola yang Amira inisiasi bersama timnya untuk melayani pasien hingga pedalaman yang tidak terjangkau puskesmas. Pihaknya selama 4-6 jam melewati perjalanan laut menggunakan perahu yang bermuatan lima orang. Berhadapan dengan angin kencang, ombak, hujan deras sembari membawa bensin genset untuk alat USG karena tidak ada listrik.
Ia mengatakan persalinan itu melibatkan dua nyawa, sehingga kami datang untuk merangkul mama biang (dukun), ibu kader, dan ibu hamil sebagai keluarga. Sebelum ke pasien, kami menjalin kedekatan emosional dengan mama biangnya. Dengan memberikan forceps, underpad, dan alat persalinan steril lainnya.
“Walaupun kita tidak menganjurkan mereka lahir di rumah. Tetapi setidaknya dalam kondisi emergency mama biang bisa menangani. Selain itu, dalam tim saya ada orang dinkes yang siap bergerak untuk membantu administrasi termasuk BPJS, jadi sambil menyelam minum air,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, pelayanan door to door dan heart to heart membuahkan hasil. Tak ayal, 60 persen Angka Kematian Ibu dan Anak (AKI) teratasi, mama biang-pun teredukasi. Lalu sebagai rasa syukur, pasien yang melahirkan-pun banyak yang memberi nama anaknya Amira.
Pesan Amira
Dalam prosesnya, alumnus UNAIR ini menyebut Gerakan Jemput Bola itu merupakan program adopsi dari pengajar-pengajarnya di Unair. Ia ingat betul pesan guru besarnya. Dimana-pun kau pergi ada Airlangga di pundakmu, Airlangga mengajarkan agar bekerja dengan tulus dan ikhlas tanpa berpikir materi. Niscaya rezeki akan menanti.
“Meski saya di sini seorang diri, tetapi tidak pernah merasa sendiri. Karena guru-guru saya di UNAIR kerap memberi kabar dan menawarkan bantuan. Jadi jangan pernah menyerah pada keadaan, segelap-gelap jalan, pasti di ujungnya ada cahaya yaitu cahaya diri sendiri. Tidak harus jadi sempurna, cukuplah jadi berguna bagi sesama,” pesannya.
Ia juga berpesan kepada tenaga kesehatan dan pemangku kebijakan yang berada di kota besar. Agar bisa merangkul tempat terpencil, baik di Papua, Papua Barat atau daerah lainnya yang masih membutuhkan tenaga kesehatan.
“Stigma papua penuh konflik akan patah jika berada di sini, karena komunikasi menjadi kunci,” tuturnya. (Yul)