SURABAYA, hks-news.com|
Kapal Pinisi adalah kapal kebanggaan Suku Bugis, Sulawesi Selatan yang terkenal. Sebab, sejak dulu telah menjelajahi dunia hingga ke Afrika. Kapal yang lahir dari Bulukumba ini telah ada sejak abad ke-14.
Seni pembuatan interior kapal phinisi Labuan Bajo telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 2017 lalu. Ketetapan ini tercantum sebagai PINISI: Art of Boat Building in South Sulawesi. Keputusan ini bukannya tanpa dasar.
Phinisi adalah representasi tangguhnya nenek moyang bangsa Indonesia sebagai pelaut. Sebagian besar penduduk yang mendiami wilayah Nusantara terkenal dengan kepiawaiannya sebagai pelaut, mengarungi samudera lepas. Bukan cuma lautan Nusantara, namun juga menjelajah lautan dunia.
Masyarakat suku Bugis yang mendiami Sulawesi Selatan adalah contoh kelompok pelaut yang terkenal. Sejak dahulu, mereka telah mengarungi samudera menggunakan kapal phinisi yang dibuat sendiri, dengan teknik tradisional.
Teknik pembuatan kapal tradisional ini telah mereka kuasai sejak puluhan bahkan ribuan tahun lamanya. Sampai sekarang, tradisi membuat kapal phinisi masih eksis. Pusat pembuatannya ada di wilayah Tana Beru, Bira dan Ara, tepatnya di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.
Meskipun sudah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda, nyatanya banyak masyarakat Indonesia tak mengenal apa itu kapal phinisi.
Pembuatan kapal Pinisi terbilang unik, lantaran pada kapal Pinisi, badan kapal dibuat terlebih dahulu. Pembuatan kapal Pinisi juga tidak digunakan perekat seperti lem khusus kayu maupun paku untuk menggabungkan kayu. Tak hanya itu, masih banyak keunikan lainnya, dirangkum dari berbagai sumber berikut keunikan kapal Pinisi:
1. Terbuat dari kayu terkuat
Kapal Pinisi terbuat dari kayu Ulin dan Bitti, yang terkenal dengan karakteristik kuat, lentur, tahan rayap, tahan perubahan suhu dan kelembapan. Kayu Ulin merupakan jenis kayu kelas kuat I atau sangat kuat dan awet.
Sedangkan kayu Bitti adalah kayu yang cenderung bengkok atau melengkung. Biasanya kayu Ulin dipakai untuk rangka kapal Pinisi yang dipadukan dengan kayu Bitti sebagai lambung kapal.
2. Warisan dari Bulukumba
Menurut legenda, kapal Pinisi pertama dibuat oleh Sawerigading, seorang putra mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok pada abad 14. Namun pada perjalanan pulang ke Sulawesi perahu ini berhadapan dengan badai dan pecah kemudian terdampar di wilayah Bulukumba.
Kapal Pinisi ala Sulawesi Selatan ini pertama kali dibuat untuk seorang kapten dari suku Bira oleh orang-orang dari suku Ara sekitar tahun 1900-an. Disebutkan juga pembuatan kapal Pinisi membutuhkan waktu selama 50 tahun hingga menjadi layar khas perahu Sulawesi Selatan.
3. Dua jenis kapal Pinisi
Kapal Pinisi terbagi menjadi dua jenis yang dibedakan dari bentuk lambungnya. Pertama disebut sebagai Palari, dibuat dengan bentuk awal dengan luas yang lebih melebar dan kemudi di samping. Bentuk lambung kapal ini mirip dengan lambung kapal Padewakang yang digunakan orang Sulawesi untuk mencari ikan.
Sedangkan yang kedua, dikenal dengan Lamba atau Lambo. Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (KLM). Bentuk lambung ini dipakai sejak tahun 1990-an yang diadopsi dari kapal-kapal Eropa.
3. Setiap bagian punya makna
Keunikan lain dari kapal Pinisi ialah setiap bagian memiliki makna. Seperti dua tiang layar kapal ini yang bermakna dua kalimat syahadat.
Kapal dari tanah daeng ini juga dilengkapi tujuh tiang, yang merupakan simbol dari surat Al-Fatihah. Simbol ini merepresentasikan harapan dan doa bagi penumpangnya agar mampu mengarungi tujuh samudera di dunia.
4. Warisan Budaya UNESCO
Pada 7 Desember 2017 kapal Pinisi ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO di Pulau Jeju, Korea Selatan. Penetapan Pinisi ini merupakan bentuk pengakuan dunia Internasional terhadap arti penting pengetahuan akan teknik perkapalan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi dan masih berkembang hingga saat ini.
Pembuatan kapal Pinisi juga mengandung nilai-nilai yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, seperti kerja tim, kerja keras, ketelitian, presisi, keindahan dan penghargaan terhadap alam dan lingkungan. Atas nilai-nilai itulah, seni pembuatan Pinisi dianggap layak dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Tak benda oleh UNESCO.
5. Memiliki ritual dalam pembuatannya
Tradisi masyarakat Ara, Tanah Lemo dan Bira harus mengikuti aturan-aturan spiritual dalam membuat kapal Pinisi. Seperti ritual sebelum pembuatan dan perhitungan tanggal untuk menentukan hari baik.
Biasanya penentuan tersebut bertepatan pada hari kelima atau ke tujuh bulan itu. Dimana angka 5 diyakini melambangkan rezeki telah diraih, sedangkan angka 7 bermakna hoki yaitu mendapat rezeki.
Tak hanya itu, sebelum penebangan pohon, juga diawali dengan pembacaan doa dan penyembelihan ayam, sebagai bentuk penyerahan diri kepada tuhan. Kemudian meletakkan dua lunas atau kayu pondasi bangunan kapal yang harus dihadapkan ke arah timur laut.
Lunas bagian depan nantinya akan dipotong kemudian dilarung ke laut sebagai penolak keburukan dan juga sebagai lambang kesiapan untuk mencari nafkah. Sedangkan lunas bagian belakang disimpan di rumah.
Setelah proses perakitan, tahapan terakhir dari pembuatan perahu pinisi adalah peluncuran perahu ke lautan. Pada tahapan ini, terdapat sebuah ritual khusus yang dinamakan maccera lopi (menyucikan perahu) yang dilakukan dengan prosesi pemotongan hewan.
Sumber : tempo.co